Sandiaga Uno fasih bermain di dunia baru yang mirip hutan belantara lebat itu. Ia memahami kompleksitas tatanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dunia baru ini, dan asyik bermain di dalamnya.
Persaingan global dalam tatadunia yang baru sudah berubah. Huntington (2001) meyakini bahwa benturan internasional akan terjadi antar peradaban-peradaban besar dunia. Perang dagang Amerika melawan Cina adalah perang peradaban. Berbagai benturan yang terjadi di Timur Tengah adalah benturan peradaban Barat dengan Islam Timur.
Banyak yang tidak setuju dengan pendapat Huntington. Tapi, banyak yang mendukung gagasannya. Perang dagang adalah ekstensi dari perang peradaban, perebutan supremasi baru dunia yang masih menyisakan vakum pasca-ambruknya komunisme Uni Soviet, 1990.
Inilah prasyarat yang harus dimiliki politisi global era digital sekarang ini. Ia harus memahami tatabaru ekonomi global berbasis digital. Ketika dunia mengalami disruption (Kasali, 2018) dan tatanan lama dibongkar total dan memunculkan great shifting. Ekonomi lama berbasis produksi dengan prinsip kepemilikan modal, alat produksi, dan distribusi sudah menjadi obsolete alias usang, diganti oleh ekonomi baru berbasis platform dan berbagi (sharing). Platform menjadi market places yang mempertemukan berbagai kepentingan. Profit tidak didapat dari margin harga produksi dari harga jual, tapi dari sharing di antara partisipan di market places.
Lanskap politik juga berubah seiring dengan munculnya era digital. Pola-pola komunikasi politik lama berubah seiring dengan revolusi digital. Pola-pola pencitraan obral janji sudah tidak laku lagi, karena kekuatan checks and balances tidak hanya dimainkan oleh lembaga-lembaga politik, tapi sebagian besar sudah diambil alih oleh masyarakat digital yang bisa setiap saat mengungkap jejak digital para politisi pembohong.
Pasca rezim Orde Baru yang otoritarian, muncullah Jokowi yang menjadi antitesa politik yang serba kuasa, kaku, dan pongah. Jokowi adalah kita, rakyat jelata yang sederhana, polos, lugu, tidak neka-neka.