Tentu bukan dimensi “rambut cepak” itu yang paling utama. Yang menjadi keprihatinan rakyat adalah kemungkinan perulangan sejarah VOC Belanda pada abad ke-17 dulu. Tidak sama cara penjajahannya, tetapi prinsipnya sama dan sebangun. Yaitu, akan berlangsung cengkeraman kekuatan modal VOC Tiongkok yang, dari hari ke hari, akan semakin sulit untuk dilepaskan. Contoh, VOC Tiongkok sangat kuat belitannya terhadap Sri Langka. Negara ini membolehkan RRC mendirikan pangkalan laut di situ.
Di Afrika, dominasi modal VOC Tiongkok membuat benua itu menjadi basis pengaruh politik RRC. Profesor Yong Deng, seorang dosen ilmu politik di US Naval Academy, Annapolis, mengatakan tujuan RRC berinvestasi besar-besaran di Afrika tidak terlepas dari keinginan Beijing untuk menjadi Kekuatan Besar (Great Power) di dunia. Begitu kuatnya kehadiran RRC di Afrika, mereka dibolehkan membuat pangkalan militer pertama di benua itu pada bulan April 2016 di Djibouti.
Indonesia adalah “benua” yang sangat strategis di mata RRC. Itu pasti! Dan, “benua” yang sangat penting ini sedang dikuasai pula oleh orang-orang yang mudah diyakinkah oleh RRC tentang “tujuan baik” mereka. Sehingga, “benua” yang strategis itu, pada saat ini, mungkin juga dianggap oleh RRC sebagai “rusa gemuk” yang sekali terkam langsung menjadi “rusa guling”.
Entahlah! Kita berharap, agar sejarah VOC Belanda tidak terulang lewat VOC Tiongkok. Semoga saja, RRC tidak memaksa Indonesia agar memberikan konsesi untuk membuat “pelabuhan khusus” bagi keperluan proyek-proyek investasi mereka.
Kita perlu waspada kalau Anda dengar kabar VOC Tiongkok tertarik untuk membeli belasan pelabuhan yang akan dijual oleh pemerintah ke swasta.
Kita perlu waspada kalau Anda dengar kabar VOC Tiongkok tertarik untuk membeli belasan pelabuhan yang akan dijual oleh pemerintah ke swasta. (Tsc)
oleh Asyari Usman
Penulis adalah wartawan senior