Dengan modal finansial dari cukong semua bisa diatur: untuk beli lembaga survei yang “simsalabim” menaikkan popularitas & elektabilitas, membeli pemberitaan dalam media, hingga pengamat yang akan kasih komentar puja puji kepada calon. Termasuk untuk menyuap oknum aparatur yang terkait.
Kalau sang calon menang terjadilah “Politik Balas Budi”.
Sang cukung pemberi modal akan mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Antara lain mendapatkan konsesi, perijinan untuk menguasai sumber daya alam yang ada di daerah dalam jangka waktu puluhan tahun, atau bentuk-bentuk penguasaan lainnya yang mendatangkan keuntungan lebih besar dibandingkan modal finansial yang telah diberikan.
Praktek transaksional seperti ini dalam “bisnis politik” para cukong, diistilahkan:
“Keluar uang kecil untuk masuk uang besar…”
Keuntungan super besar akan didapat sang cukong apabila menjadi bandar dalam Pilpres.
Ia dapat mengatur apa saja yang dimaui. Karena dengan sendirinya calon yang menang adalah boneka sang cukong.
Esensi “spirit filosofi” dalam Presidential Treshold adalah Keuangan Yang Maha Kuasa, alias Duitokrasi, yang menutup peluang bagi calon pemimpin nasional yang memiliki integritas, keberpihakan kepada rakyat, dan kemampuan problem solver.
Menurut Profesor Denny Indrayana Duitokrasi dalam Presidential Treshold termasuk jenis korupsi pemilu.(end)
Penulis: Arief Gunawan