Dudung Merundung

Pluralisme Merundung

Ucapan Letjen Dudung sungguh merundung, dalam makna mengganggu. Ucapan kontroversialnya itu mengganggu, dan jika disadarinya, itu menelisihi agama yang dipeluknya.

Bagaimana bisa dikatakan agama yang dipeluknya sama dengan agama lainnya, dan itu hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam dalam beragama.

Pernyataan Letjen Dudung diawali dengan pesannya, “Agar prajurit TNI menghindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama…” Lalu dilanjut, karena semua agama itu benar di mata Tuhan.”

Fanatik terhadap agama itu justru anjuran. Tentu bukan fanatik buta. Jika tidak fanatik, apa beragama harus kurang lebih, begitu… Atau jika fanatik pada agamanya, apa itu bisa menciptakan kekerasan, lalu hilang sikap toleran pada agama lain.

Tentu tidak demikian. Justru sebaliknya yang didapat. Fanatik janganlah dimaknai sempit, lalu jadi negatif. Ini yang menjadikan merundung.

Letjen Dudung dengan pernyataannya, itu jelas pluralisme agama, sebuah paham yang mengatakan bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan. Pluralisme menjelma menjadi agama baru, agama gado-gado sesembahan liberalis.

Karenanya, Islam menolak pluralisme itu. Tidak Islam saja yang menolaknya, bahkan Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk , jelas menolak dengan keras pluralisme agama itu. Mestinya semua agama menolaknya.

Mana mungkin atas nama toleransi, satu agama mengakui agama lainnya hanya karena toleransi.

Ini bisa merundung, dalam konteks Letjen Dudung Abdurachman, akan menghancurkan bangunan agama yang sudah kokoh hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam agamanya. [FNN]

*) Kolumnis [FNN]