Tapi, setelah empat tahun, rakyat jadi sadar, bahwa Indonesia membutuhkan Presiden yang paham persoalan yang membelit negeri ini, tahu solusinya, dan mampu mengeksekusinya.
Jika Jokowi masih bermimpi terus dan terus memainkan jurus pencitraan, bisa dipastikan elektablitasnya bakal kian mengerut. Sekarang saja, selisih kedua Capres tinggal satu digit. Menurut Lembaga Survei Median, selisih keduanya tinggal 9,2 persen. Pasangan 01 tinggal 47,9 persen,
Prabowo-Sandi 38,7 persen. Sedangkan rakyat yang belum menentukan pilihan sebanyak 13,4 persen.
Saya tidak ingin berpanjang kata tentang Garut. Satu hal yang pasti, peristiwa Garut dan di banyak lokasi lain, adalah suguhan pencitraan menyebalkan. Indonesia adalah negara besar yang kini dililit berbagai persoalan besar. Neraca perdagangan yang njomplang hingga 8,75 dolar AS, utang luar negeri Rp 5.000-an triliun, mahalnya harga berbagai kebutuhan pokok, sempitnya lapangan kerja karena diserobot tenaga kerja asing (TKA) asal China, merosotnya daya beli masyarakat, dan kinerja BUMN yang jauh di bawah banderol adalah bagian dari bermacam persoalan besar yang butuh penyelesaian secara cepat dan tepat.
Itu dari sisi ekonomi. Di bidang penegakan hukum, terasa sekali aparat, khususnya Polisi, telah menjadi alat penguasa. Berbagai laporan penistaan agama dan pelanggaran hukum yang dilakukan pihak-pihak pendukung penguasa, nyaris tak ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika pelakunya dari kelompok oposisi, Polisi bergerak sangat sigap.
Contoh terbaru bagaimana njomplangnya penarepan hukum adalah dicokoknya anak di bawah umur di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) hanya karena memposting kalimat yang dianggap menghina Jokowi di facebook. Padahal, sebelumnya ada anak keturunan Cina yang di video viralnya jelas-jelas menyebut Jokowi kacung dan akan membunuhnya. Tapi, polisi hanya menyebut kasus ini untuk lucu-lucuan.
Terlalu banyak kisah betapa tidak adilnya Polisi dalam hal penerapan hukum bagi kubu petahana dan opisisi. Jonru Ginting, Alfian Tanjung, Habib Rizieq, Ahmad Dani dan lainnya dari kelompok oposan, langsung diambil tindakan. Beberapa di antaranya harus tinggal di balik jeruji besi. Tapi Viktor Laiskodat, Ade Armando, Permadi Arya, dan lainnya, tetap anteng, adem-ayem. Padahal, laporan atas polah mereka tidak kurang-kurang banyaknya.
Jadi, ketimbang sibuk berkali-kali menebar adegan dan foto pencitraan yang pasti tidak laku, jauh lebih baik Jokowi fokus memenuhi janji-janjinya saat kampanye Pilpres 2014. Warga netizen mencatat sedikitnya ada 66 janjinya yang hingga kini belum dipenuhi. Kalau 66 terlalu banyak dan berat, cobalah penuhi janji kampanye akan memuliakan petani, akan berhenti berutang, tidak akan bagi-bagi kursi dalam menyusun kabinet, dan Jaksa agung tidak akan dari Parpol.
Jika sebagian janji itu pun masih berat, sebagai Presiden cobalah Jokowi gunakan hak prerogatifnya untuk ‘menghukum’ Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang telah menyusahkan petani. Menteri kader Nasdem itu mengimpor produk pertanian dan pangan secara ugal-ugalan justru di saat panen raya.
Dengan seabrek fakta dan bukti kegagalan, masih adakah rakyat yang akan memilihnya untuk berkuasa satu periode lagi? [***]
Penulis: Edi Mulyadi, wartawan senior [rmol]