Jika gerakan 212 mampu mendistribusikan kewenangan dan memanfaatkan seluruh potensi SDM yang tersedia, mampu mengelola isu yang baik dan cerdas dalam memainkan strategi gerakan, ini dapat menjadi gelombang kekuatan yang dahsyat.
Saat ini, penguasa terlalu kuat dan hampir semua instrumen oposisi lemah. Media lemah. Dunia kampus lemah. Partai politik dan ormas besar justru memilih menjadi agen bagi pemerintah. Tinggal tersisa PKS. Itupun hanya 50 kursi di DPR. Jauh dari cukup untuk bersuara.
Apa yang menjadi mau penguasa, tak ada yang bisa menghalangi. Hampir semua instrumen demokrasi mengamini. Nyaris tak ada kontrol dan pemberi peringatan. Mahasiswa bicara, sebentar diam. Parpol dan ormas sudah dari dulu jadi kaki-tangan. Pers terpaksa harus menyesuaikan selera penguasa. Para ulama dan agamawan terawasi dengan ketat. Stigma radikal dan pasal teroris merekam khutbah-khutbah para penceramah. Kecuali mereka yang menjadi bagian dan mengabdi pada kekuasaan
Tidak saja demokrasi, hati nurani bangsa ini pun nyaris mati. Data, logika dan dalil-dalil agama sudah berada di tangan intelektual dan agamawan yang menjadi pendukung kekuasaan.
Merasa aman dan semakin kuat, kini muncul wacana untuk melanggengkan kekuasaan itu. Amandemen UUD 45 menjadi pintu legitimasinya. Cara masuknya? Jabatan presiden diperpanjang jadi tiga periode. Satu periode lamanya delapan tahun. Dan kedepan presiden tidak lagi dipilih oleh rakyat, tapi oleh MPR. Ini sangat serius!
Buktinya? Setelah wacana itu muncul, kini giliran partai papan atas dan ormas besar sedang melakukan pengkodisian. Sebagai bagian dari tangan kekuasaan, mereka sedang lobi sana lobi sini. Berupaya untuk menggolkan amandemen UUD 45.