Ketika Anies-Sandi membuka Monas untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, ada tanda-tanda perubahan dari mindset pemimpin sebelumnya Bagi Anies-Sandi, Monas milik warga Jakarta, karenanya terbuka untuk semua masyarakat Jakarta. Bisa untuk perayaan Paskah, Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj. Bahkan bisa dijadikan tempat doa bersama untuk kemerdekaan Palestina. Yang penting tertib, jaga keamanan dan tetap bersih. Begitulah kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sudah ditetapkan dalam pergubnya.
Menjelang bulan suci Ramadhan, Gubernur memimpin langsung rapat persiapan. Salah satu pesan yang ditekankan adalah menyambut Ramadhan dengan merealisasikan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Pemprov mesti hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan. Wagub lalu mendesign program buka puasa bersama di tiap RW. Menjadikan Monas layaknya Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Memberikan pelayanan buka puasa gratis di Monas. Anies-Sandi seolah ingin menghadirkan wajah baru DKI dalam suasana Ramadhan. Suatu program yang layak menjadi inspirasi para pemimpin lainnya.
Dan hari pertama Ramadhan, Anies-Sandi melepas saham bir milik DKI. Dahsyat. Inilah wajah baru Ramadhan di DKI. No Bir, No Alexis, Buka Puasa Yes, Takbiran Yes.
Kita membayangkan, jika presiden yang membuat program Buka Puasa di setiap masjid dan alun-alun di Indonesia, menutup semua pabrik dan toko minuman keras di seluruh Indonesia, maka Ramadhan akan berdampak besar bagi bangsa dan negara. Apakah harus menunggu Anies Baswedan jadi presiden?
Pemprov kabarnya juga sedang mendesign program THR untuk seluruh masyarakat faqir miskin di DKI. Program yang sama juga sedang direncanakan untuk umat non muslim. Inilah komitmen Anies-Sandi untuk bersikap adil bagi warganya. Memperlakukan rakyat secara sama, tanpa diskriminasi etnis dan agama. Ini adalah prinsip dan moralitas kepemimpinan.
Tidak hanya Gubernur, Wagub DKI juga mendorong setiap umat beragama berkomitmen terhadap agamanya. Komitmen kepada agama akan membantu masyarakat dalam membangun moralitas sosialnya. Seolah Wagub ingin mengatakan, orang yang baik beragamanya, akan baik pula dalam hubungan sosial dan kebangsaannya. Makin jelas kontribusi kepada bangsa dan negaranya, itu salah satu indikator agamanya baik. Yang tidak baik adalah mengaku beragama, tapi tak berkontribusi kepada bangsa dan negara. Malah jadi beban dan ancaman bagi negara. Termasuk teroris dan koruptor? Nah, itu sudah tahu.
Wajah sosial-keagamaan nampaknya menjadi perhatian serius orang nomor satu dan dua DKI. Setelah agama seolah pernah absen beberapa waktu lalu dari ranah sosial dan publik.
Nyaris di bawah kepemimpinan DKI sebelumnya, tak ada tempat publik/terbuka yang diijinkan untuk ekspresi keberagamaan. Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Paskah, bahkan penyembelihan hewan qurban tak boleh mengambil tempat publik. Alasan utamanya: kebersihan.
Kalau alasannya adalah kebersihan, maka yang dicegah mestinya bukan kegiatannya, tapi faktor yang menyebabkan berseraknya sampah.
Belajar dari 212 dan doa bersama untuk Al-Quds Palestina, No Sampah, No Injak Rumput, No Rusak Taman, No Desak-Desakan, No Kematian. Monas tetap bersih dan rapi. Ini bisa jadi contoh dan referensi yang bijak. Tanpa lagi melihat ini dari kaca mata agama dan politik. Tapi, sebuah keteladanan yang universal.
Tiga kriteria bagi wajah religius tampak berupaya diikhtiarkan oleh Anies-Sandi. Usaha yang layak disambut positif dan mendapat partisipasi warga Jakarta. Sebagai langkah awal, cukup bagus. Selanjutnya, mesti ada terobosan-terobosan keumatan yang lebih smart dan strategis. Pada akhirnya, program sosial-keagamaan yang didesign Anies-Sandi akan diukur sejauh mana kontribusinya terhadap komitmen kebangsaan dan kenegaraan warga DKI.(kl/itoday)