Apapun alasan politiknya, Prabowo akan dicatat oleh para pendukungnya sebagai pecundang dan penghianat. Tuduhan seperti ini mulai jadi ritual para pendukungnya. Tepatnya, mantan pendukung. Dan ini juga akan pasti berpengaruh pada nasib partai Gerindra.
Gabung ke istana akan membuat Gerindra gali lubang kubur sendiri. Mengikuti jejak PBB yang ditinggalkan para pendukungnya karena dianggap berhianat. Lalu akan kemana larinya para pendukung itu? Ke partai oposisi.
Sementara hanya PKS yang sudah menyatakan oposisi. Siap-siap dapat limpahan pendukung yang migrasi dari Gerindra. Jika pemilu kemarin PKS dapat limpahan dari para pendukung PBB yang kecewa terhadap Yusril, tak menutup kemungkinan PKS akan dapat limpahan suara dari partai-partai koalisi Prabowo-Sandi yang gabung ke istana.
Tapi, jika Prabowo membuat keputusan untuk oposisi, maka ini akan jadi pintu rekonsiliasi dengan para pendukung. Akur kembali. Mungkin persahabatan Prabowo dengan Amien Rais cs, para ulama dan purnawirawan jenderal yang kabarnya sudah mulai retak bisa dirajut kembali.
Di mata publik, jika Prabowo memutuskan untuk oposisi, ia akan dianggap sebagai seorang negarawan. Datang ke Jokowi, mengucapkan selamat, siap membantu jika itu untuk kemajuan bangsa dan negara, tapi tetap sebagai oposisi. Keren! Rekonsiliasi dalam pengertian moral, itu bisa dipahami dan diterima. Karena itu untuk stabilitas bangsa dan negara. Tapi, bukan rekonsiliasi dalam pengertian koalisi, lalu bagi-bagi jabatan dan posisi.
Bagaimana “dosa” Prabowo di hati para pendukungnya terkait pertemuannya dengan Jokowi di MRT Lebak Bulus sabtu lalu? Besar kemungkinan para pendukung akan membukakan pintu maaf. Ini baru “mundur selangkah untuk maju seribu langkah”. Ah, yang bener?
Lepas dari perdebatan dan gaduhnya medsos dua hari ini oleh para pendukung Prabowo, pilihan oposisi akan jauh lebih rasional. Tidak saja untuk menyiapkan sisa hidup “husnul khotimah” buat Prabowo saja, tapi juga untuk nasib Gerindra dan demi masa depan demokrasi di Indonesia.
Berbagai pertimbangan, apapun itu, pilihan Prabowo untuk oposisi tetap lebih baik buat semuanya. Termasuk buat pemerintahan Jokowi-Maruf. Adanya oposisi yang kuat, Jokowi-Maruf akan mendapatkan sparing partner dalam mengelola pemerintahan. Ini akan membuat Indonesia makin sehat.
Idealnya, Jokowi-Maruf dan semua partai koalisinya mendorong parpol pendukung Prabowo-Sandi menjadi oposisi. Ini pertama, untuk kebutuhan idealis yaitu akan adanya check and balance terhadap pemerintahannya. Kedua, untuk kebutuhan pragmatis, yaitu tak berkurang jatah kursi dan posisi buat masing-masing partai koalisi.
Persis sebagaimana yang diungkapkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin); jangan kurangi jatah PKB. Begitu juga jatah NU dan Ansor layak untuk dipertimbangkan proporsinya mengingat mereka cukup berkeringat memenangkan Jokowi-Maruf.
Kok bagi-bagi kursi? Itu konsekuensi demokrasi. Selama memprioritaskan unsur kompetensi, integritas dan komitmen kerakyatan, tak perlu dipersoalkan. Menjadi masalah jika tiga unsur itu diabaikan.
Jika pemerintahan Jokowi-Maruf mengelola negara dengan baik, ekonomi tak ada masalah, hukum adil, lapangan pekerjaan tersedia, harga-harga terjangkau, petani bisa jual hasil panennya, kedaulatan negara aman, kebebasan rakyat, mahasiswa dan pers terjamin, maka tak perlu risau dengan oposisi dan para pendukungnya.
Yang pasti, peran oposisi, jika benar itu yang jadi pilihan Prabowo, akan jadi pintu rekonsiliasi yang paling efektif dengan para pendukungnya. Bersama para pendukung yang militan, Gerindra, juga partai oposisi yang lain seperti PKS, punya peluang untuk makin kuat lima tahun ke depan.[kl]
*) Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pengamat politik dan pemerhati bangsa