Kedua, rumor di pegawai kemendikbud, heroisme Anies mulai mendapatkan respon dan magnet publik. Ini terasa ketika Anies melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Anies disambut dan dielu-elukan layaknya kepala negara. Padahal, “de jure” presidennya adalah Jokowi. Anies dicopot kabarnya karena takut ada matahari kembar. Boleh jadi.
Setelah dicopot, nasib keberuntungan menghampiri Anies. Anies didaulat untuk nyagub di DKI dan jadi. Upaya yang “transparan” Jokowi menghadang Anies dengan memberi dukungan masif kepada Ahok justru menjadi blunder kedua. Karena keberpihakan ini, Jokowi kehilangan banyak simpati dan empati. Justru sebaliknya, muncul solidaritas anti Jokowi yang semakin besar dan masif. 65% rakyat tidak/belum mendukung Jokowi melanjutkan jabatannya. Survey Median, elektabilitas Jokowi tersisa 35%. Survey Indobarometer, elektabilitas Jokowi malah tinggal 32%. Padahal, secara masif Jokowi telah melakukan branding. Hasil survey ini menyimpulkan Jokowi makin sullit posisinya.
Tidak sampai disitu, tragedi politik Anies vs Jokowi berlanjut di kasus reklamasi. Setelah dilantik jadi gubernur, Anies menghentikan proyek reklamasi. Proyek raksasa milik Taipan. Melalui Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah pusat bersikeras menghadang. Tapi jebol juga pertahanannya. Sikap Luhut semakin menegaskan perseteruan antara Jokowi vs Anies.