Apapun alasannya, ide, gagasan dan program yang tertuang dalam janji politik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Baik pertanggungjawaban moral maupun politik.
Yang jelas, tak terealisasikannya janji politik, apalagi besar jumlahnya, itu indikator paling nyata dari kegagalan seorang kepala negara. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menilai itu kecuali dengan istilah “gagal’. Setiap orang yang wanprestasi itu gagal.
Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah ke-legowo-an Jokowi untuk mengakui kegagalan itu, lalu minta maaf kepada rakyat.
Dari semua gagasan yang cemerlang dan menghipnotis rakyat di 2014 itu, memberi kesimpulan bahwa kehebatan Jokowi hanya ada di janjinya. Bukan pada realisasi kerjanya. Jika Jokowi berani mengakui kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat, maka ini akan menjadi keteladanan. Seandainya diapun kalah di pilpres 2019, Jokowi akan turun dengan terhormat. Seorang pemimpin mesti berani mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Gentle!
Sayangnya, sepanjang hampir lima tahun Jokowi jadi presiden, belum pernah terdengar ia mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Kendati kesalahan dan kegagalan itu begitu nyata di mata publik, seperti mobil Esemka. Soal ini, Prabowo jauh lebih gentle dan rendah hati dibanding Jokowi. Masalah Ratna Sarumpaet yang belum tentu salah, Prabowo berani minta maaf ke publik. Ini salah satu bukti.
Kegagalan Jokowi menunaikan janjinya dan keengganannya meminta maaf kepada rakyat akan menjadi memori negatif di otak sejarah bangsa ini. Dalam memori sejarah itu akan tertulis: Yang hebat dari Jokowi adalah janjinya, bukan kerjanya. Alias Omdo. Maka, di pilpres 2019 ini rakyat akan nyinyir bertanya: “mau janji apa lagi pak Presiden?”
Jakarta, 16/1/2019
Penulis: Dr. Tony Rosyid (kl/tsc)