Jika Ma’ruf Amin tak mundur karena alasan udzur, maka pergantian wapres hampir mustahil terjadi. Meski berusia senja, Ma’ruf Amin masih sehat, bugar dan bisa bekerja dengan baik.
Ada yang bertanya: apa peran dan kontribusi Ma’ruf Amin selama jadi wakil presiden? Bagaimana jika pertanyaannya dibalik: apa peran yang diberikan Jokowi kepada Ma’ruf Amin sebagai presiden selama ini? Apa power sharing Jokowi terhadap Ma’ruf Amin? Adakah Ma’ruf diajak serta dalam penyusunan kabinet? Policy apa yang dishare Jokowi untuk Ma’ruf? Yang lebih sederhana lagi: apakah Ma’ruf diberi jatah direksi dan komisaris BUMN?
Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan itu, publik akan melihat betapa tak seimbang antara lahan presiden dengan wakil presiden. Selama jadi presiden, Jokowi tampak power full. Hampir semua peran diambil. Publik menilai wapres tak lebih jadi pelengkap.
Bercermin pada periode pertama Jokowi, dimana peran Jusuf Kalla jauh lebih kecil dibanding ketika ia menjadi wapresnya Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009.
Kalau Jusuf Kalla saja tak banyak bisa berperan, bagaimana Ma’ruf Amin? Ini perbandingan obyektif jika kita ingin memahami kedaan Ma’ruf Amin dalam posisinya sebagai wapres Jokowi. Jadi, kecurigaan publik selama ini mungkin bisa dijawab mengapa Ma’ruf Amin selama ini jarang tampil. Mungkin karena kecilnya lahan untuk memainkan peran.
Apakah ini semua ada kaitannya dengan posisi wapres yang sedang diminati oleh sejumlah pihak? Atau hanya gaya Jokowi dalam berpartner?
Meski posisi politik Ma’ruf lemah, tak berarti ia harus terus mengalah dan diam. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi. Disamping mulai membesarnya kelompok oposisi, terutama yang sedang dikonsolidasikan oleh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Boleh jadi Ma’ruf Amin justru yang akan mendapatkan bola muntah. Bukan dia yang TKO dengan mengundurkan diri, tapi malah berhasil meng-KO Jokowi. Untuk urusan ini, Ma’ruf butuh bersinergi dengan PKB, PBNU, MUI dan elemen umat yang berpotensi memberi dukungan kepadanya. (*)
Penulis: Dr. Tony Rosyid