Eramuslim.com – Jokowi sebagai presiden, sukses atau gagal? Kalau pertanyaan ini diajukan ke pendukungnya, pasti jawabannya sukses. Apa indikatornya? Pernah dikasih sepeda. Pernah dapat bingkisan yang dilempar dari mobil. Senang lihat Jokowi low profile ketika pakai kaos oblong dan sandal jepit. Tentu itu subjektif.
Kalau ditanyakan kepada pihak lawan, jawabannya Jokowi gagal. Apa indikatornya? Jokowi kriminalisasi Habib Rizieq. Jokowi dukung Ahok. Ini juga subjektif. Kalau pertanyaannya diajukan ke lembaga survei, ada yang bilang sukses. Apa dasarnya? Persepsi publik. Mereka disurvei menggunakan kaidah-kaidah ilmiah dengan random sampling yang proporsional dan margin error 2,5 persen. Objektif? Kadang. Tapi, tidak nyambung. Loh, kok gak nyambung?
Sukses gagal kok dijawab pakai survei. Emang pemilu? Kalau mau lihat Jokowi sukses atau gagal, lihat seberapa besar janji yang sudah ditunaikan, dan lihat pula capaian kinerjanya. Bukan persepsi. Pasti bias.
Sukses gagal kok dijawab pakai survei. Emang pemilu? Kalau mau lihat Jokowi sukses atau gagal, lihat seberapa besar janji yang sudah ditunaikan, dan lihat pula capaian kinerjanya. Bukan persepsi. Pasti bias.
– –
Tapi, pertanyaan dalam survei itu tentang tingkat kepuasan publik. Bukan tentang kesuksesan. Secara ilmiah itu tidak salah. Tapi narasi “kepuasan publik” itu apakah orisinil dan berdiri sendiri? Tidak ada kaitannya dengan penggiringan opini? Gak berhubungan dengan kampanye? Ini soal etika dan moral.
Curiga, bahkan sering kecewa terhadap lembaga survei model ini, seorang ustaz bertanya: bagaimana nasib lembaga-lembaga survei itu di akhirat ya? Nah loh.