Eramuslim.com – Tidak ada yang mustahil dalam politik. Sekejab bisa berubah. Sesaat peta gampang bergeser. Yang semula dianggap tidak mungkin, ternyata terjadi. Yang awalnya sudah matang didesign, berubah juga. Itulah politik.
Jokowi vs kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi), itu fakta. Sejak demo 212, kelompok ini makin menunjukkan identitasnya. Konsolidasi dan gerilya perlawanan politik terus digalang. Pilkada serempak jadi ajang.
Demikian juga dengan para pendukung Jokowi. Sejumlah kiyai sepuh dikumpulkan, ormas-ormas didekati, partai-partai politik disiapkan, hingga pasukan cyber dikondisikan untuk menghadang perlawanan kelompok ABJ ini.
Sejumlah tindakan yang dikesankan represif menambah perseteruan kedua pihak. Bumbu-bumbu ideologi dan tafsir agama ikut menguatkan. Sempurna!
Tapi, dalam politik, tak ada kemutlakan. Kawan bisa jadi lawan, dan lawan mudah berubah jadi kawan. Hal biasa. Ini juga bisa terjadi di pengkubuan Jokowi vs kelompok ABJ.
Jika elektabilitas Jokowi stagnan, dan lawan yang muncul adalah tokoh yang elektabilitasnya mengancam, maka pilihan yang cerdas dan strategis bagi Jokowi adalah mengakuisisi tokoh dari kubu lawan untuk menjadi cawapresnya.
Saat ini, kekuatan politik terbelah ke dalam dua kubu yaitu koalisi penguasa dan koalisi oposisi. Dengan catatan Jokowi bisa berkompromi dengan PDIP. Jika tidak, maka akan muncul kubu ketiga yang dikomandoi PDIP. Meski ini menjadi langkah yang sulit bagi PDIP mengingat koalisi partai penguasa nyaris berada di tangan Jokowi. Terutama sejak Golkar dikuasai.