Tapi, semua itu tak terjadi. Panitia sudah mulai cukup matang menghadapi teror. Mencoba beradu strategi dengan pihak penteror. Reuni 212 tetap berjalan, lancar dan aman. Pesertanya membludak tanpa terpancing isu bom. Sampai disini, panitia sukses.
Orang bijak berkata: “Zeal ia vulcano, the pick of which the grass of indecisiveness does not grow”. Semangat adalah sebuah gunung berapi, dimana di atas puncaknya rumput keraguan tak akan pernah tumbuh.
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah: siapa terorisnya? Apa targetnya? Lalu, adakah implikasi sosial dan politiknya?
Publik melihat, ada upaya penghadangan hingga penggagalan yang cukup masif terhadap Reuni 212. Siapa yang menghadang? Bukan rahasia umum lagi. Publik juga tahu mengapa sebagain besar media tidak meliputnya. Gak suka? Boleh jadi bukan! Gak layak jadi berita? Sama sekali tidak. Semua pakar media dan komunikasi massa menganggap bahwa Reuni 212 kali ini spektakuler. Selain jumlah dan faktor amannya, juga beragam keunikan yang menarik jadi berita.
Media tertekan. Itulah kesimpulan publik. Berarti ada pihak yang menekan? Pasti! Siapa itu? Publik juga sudah punya jawaban.
Reuni 212 oleh panitia didesign sebagai ikhtiar persatuan umat untuk menyuarakan tegaknya keadilan. Karena diadakan menjelang pilpres, maka otomatis punya implikasi politik cukup kuat. Konsentrasi massa di tahun politik pasti punya implikasi politik. Itulah hukum sosialnya. Karenanya, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan secara politis, dan berupaya menggagalkannya. Kepanikan mereka terbaca oleh publik. Sayangnya, tak berhasil.