Eramuslim.com – Pujian dan cacian itu hal biasa. Terutama bagi seorang pemimpin. Dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang, kata Anies Baswedan.
Terkadang hal baik dicaci, dan yang buruk diapresiasi. Apalagi kalau sudah melibatkan survei persepsi. Yang baik bisa dibuat buruk, dan yang buruk malah dipuja-puji. Suka-suka yang mensurvei ambil sample responden dan menyajikan hasilnya.
Yang lebih tidak wajar jika seorang pemimpin atau pejabat gemar lapor. Mending lapor ke bini, lapornya ke polisi. Dikit-dikit lapor. Serem! Kritik diawasi, hina dipenjara. Gawat! Ini menunjukkan pemimpin atau pejabat ini belum matang. Gak siap jadi pejabat.
Saat ini, pemimpin di Indonesia yang dianggap fenomenal dan paling dinamis dalam pemberitaan, selain Jokowi adalah Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini, tidak saja banjir pujian, tapi juga tak pernah sepi dari fitnah.
Beda fitnah, beda kritik. Kritik itu sesuatu yang inheren dalam demokrasi. Tak ada kritik, tak ada demokrasi. Kalau kritik berbasis pada data dan fakta. Kalimatnya terukur. Tidak terkesan cari-cari kesalahan. Bahasanya mengikuti standar “EYD”. Masih sopan, maksudnya. Sementara fitnah itu sebaliknya. Manipulasi data dan bertentangan dengan fakta. Seringkali menggunakan bahasa jalanan.
Meski fitnah adalah tindakan tak bermoral, dan bukan bagian dari budaya bangsa yang menganut asas Pancasila, tapi kehadirannya niscaya. Seorang pemimpin dituntut untuk mampu menghadapi dengan dewasa. Gak sedikit-sedikit lapor polisi!