Ketiga, petahana dalam mengelola pemerintahan umumnya punya kesalahan. Jika kekuasaan diambil alih rivalnya, kesalahan kemungkinan akan terbongkar. Ini juga jadi beban psikologis, moral dan boleh jadi juga beban hukum bagi penguasa. Siapapun penguasa, umumnya menghalalkan segala cara untuk menang. Ini dilakukan, karena adanya beban.
Bagaimana dengan Prabowo? Mencermati salah satu ungkapannya: “saya tidak akan minta dukungan kepada siapa-siapa. Ini saya lakukan karena tanggung jawab saya kepada bangsa, kepada rakyat, dan kepada agama. Yang mau bergabung, Ayuk kita bersama-sama selamatkan bangsa ini’. Lihat ungkapan ini sekilas ada semacam kepasrahan. Wajar, karena ia berhadapan dengan kekuasaan yang memiliki akses aparat, birokrat dan logistik yang berlimpah. Secara mental, Prabowo lebih siap jika kalah. Meski demikian, kekalahan akan jadi beban di akhir hidupnya: bertarung untuk selalu kalah. Bagaimanapun, tak ada pilihan bagi Prabowo kecuali “all out” untuk memenangkan pertempuran. Apalagi melihat bangsa “yang menurutnya” sedang terancam kedaulatannya.
Jadi, pilpres 2019 bukan hanya arena pertempuran bagi paslon capres-cawapres, tapi juga pertaruhan moral dan demokrasi bagi bangsa ini. Baik buruknya aksi politik kedua belah pihak, akan dirasakan warisan moralnya bagi bangsa ini di masa depan.
Jakarta, 7/12/2018 [kl/swamedium]