Diantara ciri pemilu yang demokratis dan fairnes adalah pertama, ditegakkannya aturan pilpres secara tegas dan adil. Masing-masing Paslon taat. KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa pilpres berjalan dengan jujur dan adil. Mereka akan dikutuk sejarah jika ikut menjadi pemain. Kedua, menjaga kewajaran dan kepatutan dalam berpolitik. Tidak melakukan black campign, intimidasi, persekusi, diskriminasi, dan kriminalisasi. Ini akan melukai demokrasi Indonesia.
Dua syarat yaitu tegaknya aturan dan kepatutan berpolitik ini hanya akan bisa dipenuhi jika masing-masing calon siap untuk kalah. Kalau siap untuk menang, gak perlu ditanya. Keduanya maju memang untuk menang. Tapi, tak mungkin dua-duanya menang. Karena itu, selain siap menang, harus juga siap kalah. Ini soal mental dan moral. Menjunjung tinggi sportiftifitas.
Calon yang tidak siap kalah akan cenderung menabrak aturan dan mengabaikan etika berpolitik. Main sikat sana-sini dan main hajar lawan. Peluang ini lebih besar dimiliki petahana. Lah kok? Pertama, karena petahana pemegang kekuasaan. Secara psikologis, pada umumnya tak ada orang mau melepaskan kekuasaannya. Sudah ada di genggaman tangan dan ingin dilanggengkan. Orang yang punya kekuasaan cenderung mempertahankan kekuasaannya. Kalau dia berintegritas, dia akan pertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang benar dan bijak. Jika tak berintegritas, ia abaikan aturan dan kepatutan moral demi untuk mempertahankan kekuasaan.
Kedua, petahana berpeluang untuk menggunakan semua fasilitas kekuasaan. Mulai dari logistik, hukum hingga aparat dan birokrasi. Bahkan juga media/ pers. Semua bisa diakses jika mau. Umumnya penguasa, siapapun penguasanya, fasilitas itu menggoda. Hanya bedanya, ada yang rapi, sunyi, dan sembunyi-sembunyi. Tapi ada yang vulgar, terang-terangan dan bermuka tebal.