2004 TGB di PBB. 2011 pindah ke Demokrat. 2018, TGB pindah lagi ke Golkar. Pindah parpol dalam siklus tujuh tahunan. Entah nanti mau pindah ke partai apalagi. Itulah politisi. Tak ada kawan dan musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Maka, jangan terlalu percaya juga jika ada politisi mengatasnamakan rakyat dan umat. Dobol!
Beda politisi, beda pendukung. Tidak sedikit pendukung yang fanatik. Nah, yang fanatik inilah rentan tersasar virus hipersensi. 1998 di Jepara ada sejumlah pendukung PKB dan PPP saling bunuh. 2018 kemarin di Madura ada pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo saling bunuh. Ini diantara dampak dari virus hipersensi itu. Kenapa terjadi? Karena imun (daya tahan dan kekebalan otaknya) lemah
Dampak yang paling sering dan nyata dari virus hipersensi adalah kegaduhan di medsos. Twitter, Instagram, Facebook dan WA, lumayan banyak adu perasaan terjadi. Berbagai kata dan kalimat irasional bermunculan. Karena menggunakan perasaan, maka nalar sehat dan daya intelektualitas nggak bisa bekerja.
Virus hipersensi ini tidak hanya menyerang kelompok menengah ke bawah. Tapi tak jarang juga menular di kalangan menengah atas, termasuk para sarjana dan dosen. Aneh bukan?
Kaum akademisi yang mestinya punya akses data dan matang dalam perbedaan, masih tersasar virus hipersensi. Tak sanggup menerima perbedaan. Mudah terpancing dan gampang menyerang personal dengan mencari-cari argumen, seolah-olah ilmiah. Bila perlu obral ayat atau hadis. Dukung pakai pasal-pasal di bible. Biar kelihatan ada legitimasi samawi. Punya nilai eskatologis.
Orang yang tersasar virus hipersensi selalu mengkambinghitamkan politik. Apa yang salah dengan politik? Kalau otak kita waras, yang salah bukan politiknya. Bukan obyeknya. Politik itu netral. Tapi yang salah dan tidak netral itu otak orangnya. Salah mindsetnya.
Otak yang nggak netral ini diakibatkan oleh menyempitnya jaringan saraf yang tersumbat oleh berbagai unsur fanatisme. Bisa fanatisme tokoh, bisa paslon, ormas, partai, dan bisa apa saja. Akibatnya, darah di otak beku karena kekurangan oksigen. Setiap oksigen yang datang dan mengalir ke otaknya ditolak, karena dianggap tidak sesuai dengan jenis darah yang ia punya. Darah fanatisme. Di sinilah istilah “jahiliyah” itu oleh agama seringkali disematkan kepada mereka yang fanatik. Sebab, fanatisme adalah sumber kebodohan.
Otak yang jarang dipakai untuk bersujud, akan kekurangan oksigen yang membuat seseorang jadi hipersensi. Sujud itu simbol kerendahan hati. Orang yang rendah hati selalu memberi ruang di otaknya bagi oksigen-oksigen perbedaan untuk hadir.
Jadi, virus hipersensi ini hanya menular pada orang-orang yang darah di otaknya beku karena tak pernah memberi ruang oksigen bagi perbedaan. Dan virus hipersensi ini menyerang dengan ganas ketika musim Pilkada dan Pilpres datang. Awas, hati-hati. Jangan-jangan Anda juga termasuk yang tersasar virus ini.[kl/rmol]
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa