Selanjutnya, dari poin saya di atas adalah, tanpa pendekatan bijaksana atas sebuah penilaian politik adanya ketidakjujuran, cepat atau lambat akan mendorong disintegrasi nasional, yang dimulai dari Aceh dan Papua. Kenapa? Karena bagi Aceh dan Papua, integrasi mereka di Indonesia berbanding lurus dengan kepemimpinan nasional yang penuh kejujuran.
*Orang2 ATJEH*
Dalam “Orang Atjeh”, Snouck Hurgronje, terjemahan, 2019, Ahmad Pratama dalam pengantar, menuliskan pandangan pensiunan Tentara Belanda G. B. Hooijer bahwa heroisme perlawanan Aceh terhadap Belanda sangatlah luar biasa. Jika dibandingkan dengan perlawanan Dipanegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun tentara Bone, melawan Belanda bagi Aceh begitu sulit, terutama karena melawan Aceh bukan saja laki2 tetapi semua permpuan dan anak2 ikut berperang.
Dalam buku yang sama, Snouck Hurgronje sendiri menggambarkan orang Aceh sbb. “Musuh, dengan watak yang menyukai perang dan sejak dulu lebih berani berperang dibanding ras lainnya di pulau2 sekitarnya.., ” dan “Setiap kali pasukan Belanda bertemu dengan orang Aceh di medan terbuka, kematian segera menyergap mereka” (hal.20).
Pada tahun 2005, ketika saya menanyakan perihal pemerintahan SBY merangkul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah bencana Tsunami, Syamsir Siregar (Kepala BIN) dan M. Yasin (Dewan Ketahanan Nasional) menjelaskan bahwa TNI dan GAM tidak akan pernah ada yang menang jika berperang.
Memang perang Tentara kita melawan tentara rakyat Aceh sama lamanya dengan perang tentara Belanda melawan tentara Aceh, 30 tahun.
Orang2 Aceh adalah orang2 keras. Snouck Hurgronje mengilustrasikan turunan bajak laut. Namun, sejatinya orang2 Aceh mungkin turunan saudagar2 Islam dari Iran, India, Pakistan, Arab dlsb, sehingga umumnya mereka mempunyai hidung yang mancung.