Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan supporter Arema FC terlalu mengada-ada?

Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar. Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun “Shame Culture”, bukan “Guilt Culture”, seperti Jepang, Ras China dan juga Indonesia. Dalam ” The Shame Culture “, David Broke, The New York Times, 15/3/2016, mengatakan bahwasanya seseorang sangat takut mengalami ” Social exclusion”, apalagi di era media sosial saat ini

Pada medio April 2014, sebuah kapal Ferry yang mengangkut ratusan pelajaran tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal. Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari pemerintahan. Dalam pernyataannya yang dimuat BBC, 27/4/14, “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam.

The Guardian, 27/4/14 memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea. Di Korea, Chung adalah orang kedua setelah Presiden. Meskipun urusan tenggelamnya The Sewol Ferry secara teknis adalah tanggung jawab kapten kapal, krew dan pejabat terkait lalulintas kapal, namun rasa malu, rasa bersedih dan penghormatan terhadap keluarga yang berduka diambil tanggung jawabnya oleh kepala pemerintahan. Itulah “Shame Culture”.

Di Indonesia pepatah Jawa “Wedi Wirang, Wani Mati” merupakan ajaran yang sama dengan di Korea Selatan di atas. Artinya takut menanggung malu, lebih baik mati. Memang tidak seperti di Korea maupun Jepang yang sudah sangat terkenal budaya ini, tapi sebagai umpama, ada juga di Indonesia, misalnya, eks Dirjen Perhubungan Darat, Kemenhub, Djoko Sasono. Alumni ITB itu menyatakan diri bersalah dan mengundurkan diri akhir tahun 2015, karena terjadi kemacetan di mana-mana pada akhir tahun 2015. Dia tidak ingin menyalahkan anak buahnya, apalagi pelaksana jalan tol. Alumni ITB lainnya, Sigit Pramudito, juga mengundurkan diri pada waktu yang hampir bersamaan dengan Djoko itu. Sigit adalah eks dirjen pajak, dirjen yang jabatannya paling bergengsi di Indonesia. Sigit pun mengaku malu dan menyatakan mundur karena target penerimaan pajak tidak tercapai. Dia tidak ingin menyalahkan siapapun. Kedua alumni ITB itu, punya rasa malu, tentu sebuah anomali saat sekarang ini.

Memang mengharapkan elit-elit negara yang mempunyai budaya malu sangatlah susah saat ini. Apalagi dalam situasi mengejar jabatan merupakan tujuan elit-elit bangsa dengan segala cara dan kasak kusuk. Belum lagi sogok menyogok dan bekerjasama dengan mafia atau oligarki dalam merebut jabatan-jabatan prestise.