Sikap lembut Jokowi terhadap Papua selama lima tahun ini kecenderungannya akan mengantar pada sebuah situasi kompromistis. Selain tentunya balas jasa dukungan orang orang Papua hampir 100 persen dalam pilpres mendukung Jokowi. Zaman Suharto, situasi Papua tenang dan terkendali, karena Suharto menggunakan cara kekerasan mempertahankan Papua.
Dalam masa sebelum Jokowi, beberapa institusi dalam negara memanfaatkan “gerakan jihadis Islam” sebagai milisi sipil berperang atau ancaman memerangi kelompok-kelompok separatis, seperti dulu “Laskar Jihad”.
Laskar-laskar seperti ini sudah distigmatisasi sebagai gerakan radikalisme, ISIS dan pembuat kerusuhan. Sehingga akhirnya, situasi separatisme di Papua hanya akan dilawan oleh tentara. Namun, siapkah tentara diterjunkan ke Papua?
Tentara tentu siap berperang. Masalahnya tinggal pada Jokowi. Jika Jokowi percaya pada kehendak rakyat, maka referendum bukanlah jalan yang “haram”. Negara demokrasi seperti Inggris pun mempersilakan Bangsa Skotlandia melakukan jajak pendapat untuk merdeka, tahun lalu. Kenapa kita tidak?
Persoalannya adalah apakah kasus Timor Timur akan terulang? Ketika Habibie, presiden yang dianggap lemah, mempersilakan referendum Timor Timur, akhirnya provinsi ke-27 kala itu lepas dari Indonesia.
Apalagi muncul pertanyaan, bagaimana kalau setelah Papua minta referendum lalu Aceh menuntut hal yang sama?
Semuanya sekarang tergantung Jokowi. Dan bersifat urgent. Opsi Jokowi dapat berupa: 1. Menyerang gerakan Papua Merdeka dan anasir-anasirnya secara massif. 2. Jokowi melakukan referendum rakyat Indonesia untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan Referendum Rakyat Papua. 3. Memberi izin Referendum Papua.
Sambil menunggu keputusan Jokowi, lembaga saya Sabang Merauke Circle, nasibnya diujung tanduk, karena Sabang dan Merauke mungkin saja hilang, tinggal Circle-nya saja.
*) Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle