John Judis, dalam “The Populist Explotion” (2016) melihat basis kekuatan populisme era Trump berakar kuat pada “middle American radicalism” yang dimulai era George Wallace (1960an) dan Ronald Reagan (1980), yakni fenomena migrasi kaum pekerja kulit putih ke partai Republik.
Hancurnya Nasionalisme dan Komunisme
Setara Institut, yang didirikan kelompok nasionalis, telah merilis temuannya, tentang adanya ancaman kebangkitan Islam di kampus-kampus negeri ternama, beberapa hari lalu.
Dalam pendekatan keamanan, lembaga lembaga seperti Setara Institute hanya meneliti Islam dan ancaman bahayanya. Mereka gagal menangkap fenomena yang sebenarnya, sebagaimana pendekatan yang ditempuh Hadiz dalam perspektif sosio-historis dan politik-ekonomi dibahas diatas.
Namun, temuan Setara ini menjelaskan bahwa benar adanya Islam telah menjadi pusat narasi yang meliputi kaum miskin perkotaan maupun kaum elit pendidikan kita.
Sebaliknya, narasi yang dibangun kelompok-kelompok kiri, khususnya kaum Komunis, saat ini telah kehilangam gairah di kalangan miskin kota maupun kampus.
Pada era 1970an, 1980an, dan 1990an, simbol tokoh Komunis seperti Che Guevara dan pikiran-pikiran Antonio Gramsci, misalnya, menjadi motor penggerak gerakan kampus dan miskin kota, juga gerakan petani.
Meskipun pada masa itu Suharto dan tentaranya memberangus semua yang berbau kiri.
Selain kelompok kiri dan Komunis, kalangan Nasionalis juga kehilangan gairah sehingga gagal menjadi harapan massa rakyat. Kehilangan gairah itu saat ini secara nyata, salah satu misalnya belakangan ini, Jokowi yang mewakili kelompok nasionalis bukannya mengutamakan tema nasionalisme maskapai dalam negeri, yang mengikuti jejak Sukarno, tapi malah mengundang asing menguasasi pasar maskapai dalam negeri.