Satu2nya jalan bagi Jokowi untuk menang adalah mengambil suara dari kelompok Islam, yang selama ini dimusuhinya. Dan ini dimanfaatkan oleh Yusril, yang memang pialang canggih urusan “power game”.
*Terorisme ke Depan*
Sikap Jokowi yang melunak atas isu terorisme, dengan usaha merebut hati ummat Islam, khsususnya yang di cap “kelompok garis keras”, memberikan peluang Jokowi mendulang suara sekitar 5 juta calon pemilih Partai Bulan Bintang. Potensi lima juta ini termasuk kelompok2 Hizbut Tahrir yang meminta Yusril sebagai kuasa hukumnya dan FPI yang bergabung ke PBB dalam pileg 2019. Selain pembebasan Abubakar Baasyir, tentu Jokowi nantinya diminta membatalkan Perpu Ormas dan pemulangan Habib Rizieq Sihab ke tanah air.
Ini adalah strategi besar dalam sebuah pemilihan presiden.
Dan memang pemilihan presiden di manapun membutuhkan strategi besar dengan dampak besar. Di pilpres Amerika misalnya, Trump melakukan strategi besar a.l. memusuhi imigran, keluar dari agenda propaganda ISIS (Islamic State) Timur Tengah, anti China, anti Homoseks, bersahabat dengan Rusia, dan mendukung Jerusalem sebagai ibukota Israel).
Akibat strategi tersebut, Trump mendapat dukungan militant kelompok “white supremacist”, Gereja2 Evangelical, buruh kulit putih yang biasanya ke demokrat serta dukungan Rusia.
Sedangkan Jokowi, dengan potensi pindahnya dukungan sebagian kelompok Islam yang selama ini di kubu Prabowo, akan berpotensi menang ke depan. Tentu dengan asumsi, potensi pengurangan pula pada Jokowi dari kelompok2 pendukung2 latennya.
Hal ini memerlukan analisa lebih lanjut nantinya.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana pandangan Jokowi terhadap terorisme ke depan? Jika faktor kemenangan Jokowi, jika menang, ditentukan oleh kelompok2 yang selama ini dicitrakan Islam radikal?
Apalagi terkait dengan perangkulan Ustad Abubakar Baasyir (sosok yang disebut namanya dalam buku “Public Paper of Presiden of United States, 2007: 1142”), yang seringkali dipersepsikan sebagai penanggung jawab seluruh aktifitas teroris di Indonesia selama ini.
Dr. Sidratahta, dalam promosi doktornya “Kebijakan Terorisme Di Era Demokrasi”, dengan penguji utama Prof. Dr. Tito Karnavian, 10/1/19, lalu menyimpulkan bahwa terorisme di Indonesia terkait dengan kelompok2 Islam Wahabi dan Salafi yang menginginkan syariat Islam ditegakkan. Dalam ringkasan disertasinya, Tahta memuat bagian ambisi perlawanan dan dendam kelompok teroris ini terhadap Amerika. Khususnya akibat kebijakan Amerika yang memporak-porandakan Iraq dan Afghanistan awal 2000 an lalu. Disertasi ini sejalan dengan pandangan Jokowi saat debat, soal terorisme yang berkembang dari dalam bangsa kita.
Tentu saja kontradiksi pandangan Jokowi/Makhruf Amin versus pembebasan terpidana terorisme Abubakar Baasyir, yang diklaimnya sebagai aksi kemanusian, menyulitkan pandangan rezim Jokowi ke depan. Bisa jadi, akhirnya Jokowi mengubah pandangannya agar seperti pandangan Prabowo Subianto dalam debat, bahwa terorisme lokal hanya bersifat minor. Ini sejalan dengan langkah Amerika terbaru yang keluar dari urusan ISIS di Suriah, sehinggah akan menjadikan urusan/isu terorism mengecil. Atau, jika Jokowi berkuasa lagi, kelompok2 yang dirangkul Yusril ini akan di penjarakan/disingkirkan kembali? [ts]
*) Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle