Pandangan rezim Jokowi dalam debat ini mempunyai sebab dan konsekwensi. Secara sebab, pandangan ini dapat kita teliti selama hampir 5 tahun wacana kebencian mereka terhadap Islam. Yakni, a) hampir 5 tahun ini rezim Jokowi mengembangkan dikotomi “saya Pancasila” versus “kamu bukan Pancasila” terhadap Islam dan gerakan Islam. b) melakukan penangkapan2 terhadap ulama, c) “mengusir” Habib Rizieq Sihab dari Indonesia. d) mengembangkan wacana bahayanya “NKRI BERSYARIAH” via propagandis Denny JA, e) menuduh partai2 oposisi akan mendirikan negara Islam, seperti yang disampaikan Viktor Laiskodat, dlsb.
Beberapa hal lain yang tak kalah pentingnya adalah membuat Perpu Ormas yang membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), membatasi azan Masjid, menginteli ceramah2 agama di Masjid, membubarkan perda-perda Syariah, bahkan meminta ummat Islam untuk lebih toleran terhadap LGBT, menghormati orang2 tidak puasa di bulan Ramadhan, dlsb.
Konsekwensinya, rezim Jokowi hanya mengakui satu persepsi tentang Islam yakni “Islam Nusantara” sebagai Islam yang dimaksud dalam Pancasila. Islam Nusantara ini adalah Islam yang khas Indonesia, bukan “kearab2an”. Dianggap penuh toleransi dan damai.
Terkait dengan sikap Jokowi membebaskan Ustad Abubakar Baasyir, setelah debat pilpres, tentu kita melihat sebuah kontradiksi besar dari Jokowi dan rezimnya.
Karena Abubakar Baasyir adalah sosok yang menjadi puncak simbolisasi kontra “Islam Nusantara” itu. Karena Abubakar Baasyir (berbeda bahkan dengan Imam Besar Habib Rizieq Sihab) menyatakan tidak mengakui Pancasila, hanya mengakui Islam. Baasyir mengingkan Indonesia menjadi negara Islam. Terkait Bom Bali dulu, Baasyir mengatakan itu adalah “God Will”.
Pembebasan ini, dengan alasan kemanusian, tentu tidak merubah sebab, melainkan soal konsekwensi yang kita bahas di atas. Dari sisi sebab, alasan kemanusian tidak menghilangkan tuduhan bahwa ABB adalah teroris yang dihukum karena dituduhkan bertanggung jawab atas beberapa aksi terorisme di Indonesia.
Namun, dari sisi konsekwensi, kita menjadi curiga karena soal alasan pembebasan ini, yakni, usia tua ABB tidak masuk akal. Pada saat usia 80 tahun (tahun lalu), keluarga ABB meminta agar dia tidak ditahan isolasi (isolasi adalah istilah tahanan yang dikurung sendiri terpisah dari tahanan lain), karena selain usia tua, ABB juga penyakit jantung. Tapi, Jokowi tidak merespon.
Jika alasan kemanusian dapat dipercaya, maka konsekwensinya tentu positif, yakni “at the end” kemanusian membuat langkah kompromistis thd sosok anti Pancasila dan teroris. Alasan kemanusian tentu harus berlaku umum, yakni Jokowi harus memikirkan alasan yang sama untuk tahanan politik lainnya, seperti ust. Alfian Tanjung dan “pelarian politik” Habib Rizieq Sihab.
Namun, konsekwensi akan berbeda jika kita curiga soal alasan pembebasan ini, yakni, usia tua ABB. Ini alasan tidak masuk akal. Pada saat usia 80 tahun (hanya tahun lalu), keluarga ABB meminta agar dia tidak ditahan isolasi (isolasi adalah istilah tahanan yang dikurung sendiri terpisah dari tahanan lain), karena selain usia tua, ABB juga penyakit jantung. Tapi, Jokowi tidak merespon. Konsekwensi sikap Jokowi ini akan dianggap sebagai pragmatisme jangka pendek untuk kepentingan jangka pendek. Tentunya terkait pilpres saja.
2) melanjukkan soal menariknya pembahasan ini adalah soal paska debat pilpres. Kita mengetahui rencana Jokowi membebaskan ustad Abubakar Baasyir hanya sehari setelah debat. Kita mengetahui dari berbagai polling paska debat, mengutip RMOL, apresiasi masyarakat sampai pk 23.58 wib sehabis debat, yang menyukai Prabowo 65%, sedangkan Jokowi hanya 35%, untuk tweeter Tempo dan 80% vs 20% tweeter Elshinta, padahal padahal media ini diminati kelompok sosial yang cenderung netral.
Dari 4 tema (hukum, korupsi, ham dan terorisme) debat pertama ini, isu terorisme adalah isu yang sangat kontras antara dua kandidat. Dan Jokowi menyerahkan pembahasannya pada Cawapres Makhruf Amin (satu2nya Cawapres bicara).
Dengan pandangan yang bisa dikontraskan, pendapat masyarakat dalam polling tentu sangat terpengaruh oleh hal itu, dibanding bagian tema lainnya.
Dengan telaknya kekalahan Jokowi dalam polling itu, maka persepsi masyarakat atas pandangan Jokowi terkait terorisme itu kurang mengena.
Ukuran polling mungkin bukanlah ukuran satu2nya. Polling ini bisa jadi hanyalah penegasan atas cara pandang Jokowi dan rezimnya selama ini atas Islam dan ummat Islam terbentur pada realitas keterbelahan total bangsa ini. Keterbelahan total, jika dalam pihak oposisi, dipahami dalam survei2 internal mereka bahwa selisih suara Jokowi vs Prabowo, hanya setipis “margin error” dan Jokowi belum melebihi elektabilitas 50% (sebagai perbandingan, SBY menjelang periode ke dua dengan elektabilitas 68%).