Secara ideologi, Jangan ada lagi kelompok yang berupaya menarik-narik falsafah negara ini ke Pancasila 1 Juni 1945, karena yang disepakati dalam membentuk negara ini adalah Pancasila (kalau itu disebut Pancasila) alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945. Janganlah memusuhi Islam –ajaran dan ulamanya, karena sumbangan Islam dan para ulamanya tak terhingga buat Indonesia; sumbangan mereka jauh melebihi sumbangan komponen masyarakat mana pun. Begitu pula, janganlah ada yang berupaya menumbuhkan semangat anti Tuhan dan anti Hukum Tuhan, karena Negera ini disepakati dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua pihak haruslah berlapang hati membahas ulang UUD hasil amandemen yang ditengarai banyak pihak menimbukan masalah kebangsaan; tidak mencerminkan maksud Pembukaan UUD 1945. Demi Indonesia yang dicitakan, dari pada menimbulkan masalah, baiklah kembali ke UUD 1945 yang asli.
Andai pun secara fisik Indonesia tidak akan bubar dalam arti pecah berkeping-keping, namun adanya undang undang yang mengatur hidup berbangsa dan bernegara –yang menyimpang dari Kesepakatan Agung, akan membuat Indonesia bermetamorphosa menjadi sesuatu yang lain; menjadi sesuatu yang baru. Indonesia seperti ini telah tercabut dari jati diri bangsa Indonesia Asli, tercabut dari akar sejarahnya. Kata Syekh Maulana Abul A”la Maududi : “Hilangnya suatau bangsa bukanlah karena bangsa itu tenggelam ditelan bumi, tetapi karena lenyapnya peradaban bangsa itu”. Itu saya baca di buku karangannya berjudul “Peranan Pemuda Islam dalam Membangun Bangsa” di awal tahun 90-an. It was hijecked ! Indonesia Asli sudah tidak berdaulat !
Bagaikan kereta api, negara kesepakatan ini adalah rangkaian gerbong yang ditarik oleh lokomotif dengan seorang masinis dan crew-nya menuju arah yang telah ditentukan dan di atas rel Undang-Undang kesepakatan. Boleh jadi ada kelompok persekongkolan jahat melakukan sabotase, merusak rel atau membelokkannnya ke arah lain sehingga kereta anjlok atau melaju bukan ke arah yang dicitakan. Oleh karena demikian itu, pengawasan rakyat terhadap “rel” bukan saja wajar, tetapi sesuatu yang mesti dilakukan.
Maka, setiap ajakan untuk mengawasi atau mengawal jalannya hukum dan perundang-undangan –di setiap momen berbangsa dan bernegara, adalah kerja mulia yang patut diapresiasi, bukan dicurigai. Termasuk peristiwa yang sangat penting saat ini, pengawasan terhadap proses pelaksanaan Pemilu Presiden dan Legislatif. Kekuatan Rakyat perlu memastikan proses mementukan pemimpin dua dari tiga lembaga tinggi negara itu berjalan sesuai aturan yang berlaku; termasuk dalam hal ini penyelasaian persoalan pelanggaran pemilu.
Apa yang dianggap pelanggaran atau penyimpangan memang harus diuji lewat apa yang disebut peradilan. Fakta dan data pelanggaran harus diajukan oleh pihak yang menduga ada pelanggaran ke pengadilan untuk diuji. Buktikan bahwa telah terjadi pelanggaran !
Belajar dari Imam Ali Bin Abi Thalib ketika Beliau mengajukan seorang Yahudi –yang diduga mencuri baju perang Beliau, ke pengadilan. Imam Ali hapal betul ciri dan seluk beluk baju perangnya yang menjadi objek curian itu, sehingga Beliau mampu menceritakan baju itu secara detail dan di persidangan itu dapat dibuktikan. Tetapi Beliau gagal menghadirkan dua orang saksi –yang menjadi syarat pembuktian, yang tidak memiliki hubungan keluarga. Akibatnya, Hakim menyatakan Imam Ali gagal membuktikan dugaan pencurian itu dan baju perang menjadi milik orang Yahuidi tadi. Imam Ali yang seorang Khalifah, penguasa tertinggi umat Islam kala itu, pun menerima putusan dengan lapang hati. Begitulah kita menghormati lembaga peradilan.
Tetapi itu, kan pengadilan Islam, pengadilan yang memang jujur tanpa pandang bulu siapa yang berpekara? Bagaimana kalau peradilan pemilu yang memang sarat dengan kepentingan dan para hakim pun telah menjadi bagian dari peserta pemilu? Apa pun itu, lembaga peradilan tetap saja harus dihormati dan proses peradilan harus dijalani secara terbuka sampai terbukti bahwa lembaga peradilan tak lagi berfungsi memutus perkara secara adil. Kalau sudah terbukti –peroses penyelenggaraan Pemilu penuh kecurangan dan pelanggaran, perangkat hukum dan institusi yang berkaitan tidak berfungsi sebagaimana mestinya– samalah artinya rel kereta telah (di)rusak atau menyimpang dan masinis yang ngotot untuk tetap menjalankan kereta pun patut dipertanyakan keterlibatannya. Kereta api akan anjlok atau lari membawa gerbong entah kemana.
Pemerintah mengabaikan kehendak rakyatnya. Pemerintah bukan lagi pelaksana kehendak rakyat dan itu adalah penghianatan yang membahayakan hidup berbangasa dan bernegara. Perlu Kekutan Rakyat, People Power, untuk melakukan perbaikan; membongkar-pasang semua perangkat hukum yang ada mengembalikannnya kepada kesepakatan awal bernegara.