Naskah kesepakatan itu kemudian dijadikan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ia adalah jiwa dan semangat Indonesia merdeka. Ia merupakan kepribadian dan jati diri Bangsa Indonesia asli yang ingin berdaulat di tanahnya sendiri. Ia adalah kesepakatan agung yang menjadi dasar hukum bagi semua hukum yang lahir dan berlaku di Indonesia. Ia adalah “Sertifikat” eksistensi Republik Indonesia yang harus dirawat lestari, tidak boleh dirubah hatta pun satu kata. Merubah pembukaan UUD 1945 sama artinya dengan membubarkan Republik Indonesia.
Batang Tubuh UUD 1945 seyoginya adalah tafsir atau setidaknya terjemah dari Pembukaan UUD 1945. Karena itu, batang tubuh tidak boleh menyimpang dari maksud pembukaan. Bila saja terjadi penyimpangan, semua pihak harus bersedia untuk segera mengoreksi. Jika tidak, maka kekeliruan itu dapat dimaknai sebagai upaya penghianatan terhadap kesepakatan agung. Artinya, Indonesia melaju ke arah “bubar jalan !”.
Begitulah kita memandang UUD hasil Amandemen 1 sampai 4.
Bubar ? Ya, bubar ! Kalau ada undang-undang yang diberlakukan bertetentangan dengan Kesepakatan Agung (semangat dan jiwa Pembukaan UUD 195), itu artinya Kesepakatan Agung telah dibaikan : boleh dilanggar atau bahkan dinafikan. Ia tidak mengikat sesiapa pun lagi. Setiap kelompok masyarakat berhak untuk undur diri. Jadi, bila dahulu ada kata sepakat untuk menyatu, maka ada waktunya untuk sepakat “bubar jalan”, berpisah. Itu sah dan alamiyah saja, tak ada yang istimewa di situ. Sepasang suami-istri awalnya sepakat untuk hidup berkeluarga seiya sekata sampai ajal menjemput. Tetapi di tengah perjalanan hidup, ada ketidaksesuaian satu dengan lainnya yang tidak dapat diselesaikan. Maka, jalan pisah pun ditempuh.
Berpisah memang halal, tapi menyakitkan dan karenanya dimurkai Allah. Oleh sebab itu semua pihak harus mampu menahan diri untuk tidak memaksakan kehendaknya masing-masing. Semua pihak harus memahami betul bahwa Indonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan berbagai komponaen masyarakat. Masing-masing komponen masyarakat memiliki andil –dengan kadar yang berbeda-beda, dalam membentuk negara ini. Semua pihak harus berpegang teguh pada Kesepakatan Agung dan menghargai komponen masyarakat sesuai kadar pengorbanan dan sumbangsihnya. Yang kecil, menghormati mereka yang sahamnya lebih besar; Yang tidak punya saham, atau “penghianat yang diampuni” jangan pula coba-coba menumbuhkan sikap laku penjajah