Tapi setiap pendapat harus di sampaikan dengan cara-cara yang berakhlaq dan beretika. Orang Minang menyebut “Tau Di Nan Ampek”, bukan selonong boy. Ada jalan mandaki, ada jalan manurun, ada jalan malereang dan ada jalanmandata. Tau sopan jo santun. Tau ereang jo gendeang, tau rantiang ka mancucuak, tau dahan ka ma impok. Tak peduli terpelajar dan bergelar pendidikan yang tinggi, tapi semua terdidik dan bataratik (berasal dari kata ‘tertib’)
Orang Minang tak pernah berlebih-lebihan menghargai orang kaya, berpangkat atau nekad pemberani. Orang Minang mengatakan, kok kayo, kami indak mamintak, kok pandai kami tak batanyo. Kok bagak kami tak ka bacakak (berkelahi). Tapi kalau berbudi, kami segani. Bagi masyarakat Minang yang bermental mandiri, sikap tak tergantung kepada orang lain adalah prinsip.
Dengan sikap kemandiriannya itu orang Minang biasanya juga mampu menyesuaikan diri dengan dengan lingkungannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dimana dia bertempat tinggak. Mereka bukan suku bangsa ekslusif. Lihatlah di seluruh penjuru bumi, mana ada kampung Minang. Sementara ada kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, kampung Jawa, kampung Bali dan lain sebagainya. Karena filosifis hidup mereka, dima bumi dipijak, disitu langit di junjung,dima ayia disawuak, disitu rantiang di patah. Karena itu, penyataan Ade Armando yang menyinggung puncak kada, masyarakat Minang, terasa menyakitkan sekali.
Bisa dipahami pula, kalau orang Minang kemudianmarentak (meminjam istilah Ery Mefri, sang Maestro Tari/gerak), yang bisa diartikan marah sambil menghantam kaki.
Jangan bicara sok hebat dengan masyarakat Minang yang sejak zaman behaula sudah berfikir jauh ke depan (out ward looking) dan jauh ke luar (out of the box). Tak usah merasa paling pintar, karena orang Minang yang berbasis surau itu, sejak dahulu saja sudah banyak yang menguasai belasan bahasa.
Tan Malaka menguasai 14 bahasa, Agus Salim 13 bahasa dan sudah merantau, jauh ke mancanegara, sementara Republik ini belum lagi ada. Siapa pendiri kota Manila, bukankah Raja Sulaiman yang berdarah Minang, yang patungnya berdiri di Kota Manila. Siapa pencipta lagu Nasional Sungapore? Bukankah orang Minang? Dan banyak contoh lagi yang terlalu panjang untuk saya sebutkan, tapi baca juga bukuPayung Terkembang, yang ditulis Abdul Samad, orang Malaysia, bagaimana raja-raja Minang dijemput untuk jadi raja di Malaysia di masa lalu.
Ade Armando yang mengkritisi sikap Gubernur Sumatera Barat, mungkin tak paham bagimana berjalin berkulindannya antara adat dan pemerintahan di Sumatera Barat. Gubernur itu pemimpin formal, tapi sekaligus pemimpin informal, yang di tinggikan sarantiang dan didahulukan salangkah okeh masyarakat.
Walaupun tak dilegalkan seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Lihatlah bagaimana Nagari di Minangkabau, bukan hanya sebagai wilayah administratif tapi juga sebagai komunitas adat. Itu diakui dalam Undang Undang Desa.
Saya perlu mengingatkan Ade Armando, kalau lupa, bahwa di dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, disebut secara ekplisit, ‘Nagari di Minangkabau’ sebagai contoh. Jika Ade Armando merasa hebat, hebat sajalah, atau silakanlah hebatnya. Jangan dibesarkan lampu sendiri, tapi dipadamkan lampu orang lain.
Presiden Jokowi mengangkat isu Revolusi Mental sejak periode pertama, jika Ade dan kita mendukung program tersebut, tentu sikap yang merendahkan itu kontradiktif dengan program pemerintahan Jokowi, karena mental kita mestinya mental berketuhanan, berkemanusiaan, ber Persatuan Indonesia, berhikmah kebijaksanaan dan berkeadilan.
Saya kira Ade Armando paham, bahwa di Minangkabau mungkin ribuan jumlah orang bergelar doktor dan profesor, tapi mereka tak menyakiti, mereka berbagi ilmu, mereka bertutur kata pantang menyinggung. Karena orang Minang paham betul, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.
Kata orang Minang, tak ada kayu yang terbuang, kok pakak palatuih badia, kok buto pa ambuih lasuang, kok lumpuah pausia ayam. Menurut saya, itulah sikap profesional, karena manusia tidak tahu semua hal. No body is perfect. Dan karena itu pula pula tumbuh sikap rendah hati dan tawadhu’ dan saling menghargai. Sekarang, kaki lah ta langkahan, tapijak arang, hitam tapak, kata orang Minang, bila berat rasanya minta maaf, saya hanya berharap, cukuplah sampai di sini mencederai orang lain atau komunitas lain. Kita ini sebagai manusia ada keterbatasan pengetahuan. Ade mungkin hebat dalam teori komunikasi bahkan bergelar doktor, orang lain tentu hebat pula di bidangnya masing-masing.
Demi Allah, saya tak bermaksud mengajari Ade, disamping tak pantas, saya bukan orang yang lebih, justeru banyak kekurangan. Saya hanya ingin mengingatkan, agama saya mengajarkan, saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang. Karena saya menyayangi Ade Armando seorang guru dari para mahasiswa, yang akan digugu dan di tiru, seorang terdidik dan terpelajar, saya merasa rugi dan juga mungkin bangsa ini bila nanti Ade tak lagi dianggap seperti itu.
Untuk masyarakat Minang, dengan rendah hati saya meminta, kita maafkanlah Ade Armando sekali ini. Pemaaf itu lebih baik, kata Allah. Mari kita terus berbenah meraih kemajuan duniawi dan ukhrawi. Mudah mudahan kita memperolehfiddun ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina azabannaar. Masyarakat Minang tak usah ikut mencela. Kita diingatkan Allah dalam Alquran, wailullikulli humazatillumazah dst, Celakalah bagi pengumpat dan pencela.
Mari kita lanjutkan kehidupan Ranah Minang yang makin islami, dalam negara Kesatuan Republik Indoneia ini yang kita cintai. Kita tentu ingat, betapa kakek nenek kita berandil besar dalam mendirikannya.
Ingat angku kita Tan Malaka, Agus Salim, St. Sjahrir, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Rahmah El Yunusiah, Rasuna Said, St. Moh Rasjid, Bung Hatta sang Proklamator, Yamin, Adinegoro, dan ratusan lainnya yang tak saya sebutkan satu persatu.
Angku atau kakek nenek kita yang bersaham dalam mendirikan republik ini cintanya selaras antara kampung halamannya dan Indonesia. Cintanya pada Tanah Air tak menyurutkan cintanya kepada kampung halaman secara subjektif, seperti kata Einstein.
Soal bernegara, Bung Hatta pernah mengutip kalimat Ernes Renan di sidang KMB. “Ada satu negeri yang menjadi negriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku”
Mereka memegang keduanya sama sayangnya. Mari kita lanjutkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Indonesia dengan taat aturan, damai dan taqwa.(end)
*(marah, menghentak kaki ke lantai)
Penulis: Dr Gamawan Fauzi, SH Dt Rajo Nan Sati)**
**)Mantan Bupati Solok
Mantan Gubernur Sumbar
Mantan Mendagri