Dr. Gamawan fauzi: “Minang Marentak!”

Filosofis atau falsafah hidup itu selalu menjadi rujukan dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku. Bagi komonitas sosial yang kuat memegangnya, maka pelanggaran atasnya dapat dibuang dalam pergaulan sosialnya. Orang Minang menyebut, dibuang sepanjang adat. Tidak diikutkan sehilir semudik. Tidak diajak baiyo batido, dan tak lagi memperokeh hak waris adat atau dalam bahasa lugasnya. Tak lagi dianggap ada dalam masyarakat, tak ditegur sapa. Itu hukum sosial yang hidup. The living law of the people

Kemudian muncul pertanyaan, adat Minang punya aturan, bahwaAdat salingka Nagari, Pusako salingka kaum. Kenapa komunitas masyarakat Minang bisa memberi sangsi sosial, seperti tidak diakui, dicoret sebagai orang Minang atau dibuang sepanjang adat? Memang benar, tapi ada yang disebut Adat sebatang Panjang. Yang memuat prinsip prinsip dasar adat secara menyeluruh dan berlaku bagi semua masyarakat Minang dan seluruh Nagari di Minangkabau.

Mungkin inilah yang menjadi landasan pikir dari pernyataan sikap MTAAKAM yang mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Sikap komunitas masyarakat Minang dalam menyikapi reaksi Pemda Sumbar, MUI , MTKAAM dan yang lainnya, bisa saja dipertanyakan oleh banyak oramg atau kalangan. Bisa di tuduh intoleran dalam ber NKRI, diaggap sok agamis, berpandangan sempit dan terbelakang.

Saya masih ingat. Ketika menjadi Bupati Solok 20 tahun lalu, awal otonomi daerah diberlakukan, saya membuat 3 Perda Syariah, bersama DPRD yang materinya dibantu oleh MUI Kab. Solok yang waktu itu dipimpin oleh ustad Gusrizal Gazahar, yaitu Perda pakaian muslimah, Perda Wajib Pandai baca tulis Alqur’an dan Perda Zakat.

Beberapa kalangan yang mengaku intelektual Muslim atau Muslim intelektual memprotes, akhirnya, saya layani dengan debat atau dialog di salah satu TV Swasta Nasional di Jakarta. Debat itu cukup lama dan hangat.

Di ujung debat, saya katakan kepada Profesor perempuan itu bahwa dalam sistem otonomi ini, pusat harus memberi ruang yang cukup kepada Daerah untuk memelihara nilai-nilai lokalnya sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional.

“Dalam hal ini, kepentingan nasional apa yang kami langgar? Seharusnya anda menghormati kebijakan kami yang 99,99 persen beragama Islam dan berusaha memperkuat kehidupan islami yang di yakini masyarakat kami agar masyarakat hidup dalam ketentraman, kenyamanan dan kebahagiaan apalagi aturan itu juga disebutkan hanya untuk warga yang beraga islam. Anda sendiri sekarang berhijab, kenapa anda tidak buka saja hijab itu? Kata saya kepadanya.

Sebagai perbandingan, bukan hanya di era Otonomi, sejak dulu sampai sekarang siapa saja yang tengah berada di pulau Bali saat acara Nyepi, ikut menghormatinya. Bahkan pesawat pun ditunda berangkat beberapa saat. Hingga kini tak pernah ada yang protes. Kenapa untuk kami anda protes? Itulah akhir dialog tersebut, karena waktu sudah habis.

Saat ini, dalam kehidupan berbagsa dan bernegara di bawah semboyan NKRI harga mati, banyak yang berlebihan menyikapi sesuatu. Kadang dengan berlebel gelar pendidikan, atau ketokohan nasional, membuat tafsiran yang berlebihan terhadap sesuatu, yang men judgeorang lain berpikiran dangkal, sempit, radikal, dungu, dan sebagainya.

Mereka kadang merasa paling pintar, paling terpelajar, paling maju berfikirnya. Mereka merasa menjadi bagian masyarakat dunia yang luas dan modern, sementara orang lain dianggap Kadrun, karena membawa bawa agama. Kadrun menurut Ade , adalah pikiran sempit dan radikal . Bahkan orang orang seperti ini kadang merasa paling NKRI dan paling Pancasila, sehingga menganggap kalau sudah paling pancasila dan paling NKRI mereka juga tak tersentuh hukum.

Penyakit “merasa” ini belakangan ini tumbuh di beberapa kalangan dan merasa sangat jumawa, semua dikomentari dan semua dilawan. Saya tak mengerti, gejala apa pula ini? Ada pula sebagian masyarakat kita dewasa ini yang berfikir bahwa kalau ada yang merujuk rujuk ajaran Islam, merupakan indikator kebodohan dan keterbelakangan, bahkan anehnya, seorang guru besar bidang agama sampai-sampai meminta agar pelajaran agama dihapuskan saja, bila ingin negara ini maju.

Dalam alam demokrasi, melahirkan pendapat, pikiran dan menyampaikan argumentasi adalah sesuatu yang sah dan dijamin Undang Undang Dasar 1945. Di Minangkabau pun hal itu justeru menjadi sesuatu keniscayaan sejak zaman nenek moyangnya. Bahkan tak kurang almarhum Nurcholis Madjid mengatakan, kalau ingin berdemokrasi belajarlah ke Minangkabau. Orang Minang menganut paham, Basilang Kayu dalam tungku, baitu api mangko iduik. Duduak surang basampik sampik, duduak basamo ba lapang lapang.