Walhasil, semakin didalami “anatomi” pemilih, termasuk mereka yang masih tercatat belum memutuskan pilihannya adalah pemilih yang logikanya sudah tidak menginginkan lagi petahana (Jkw), tetapi sementara bersembunyi dulu sebagai undecided voters. Casual observation kami juga mengindikasikan warga kampus umumnya mendukung Paslon 02. Begitu pula TKI diluar negeri yang lantang dan lepas meneriakkan dukungan ke 02.
Polling polling bebas yang diadakan oleh berbagai kalangan termasuk ILC dan Iwan Fals, selalu dimenangkan oleh kubu PADI. Dunia medsos jelas pendukung PADI. Sementara lembaga survey profesional sudah kehilangan kredibilitas karena acap dinilai tidak independen.
Demikian pula sosialisasi Paslon di lapangan terbuka maupun tertutup yang dirasakan asimetris. Prabowo dan Sandi hanya bisa bergerak mensosialisasi dirinya sebagai capres dan cawapres sehingga banyak sempritan yang mengawasi. Menyadari banyaknya hambatan atau kesulitan yang dihadapi Prabowo ketika turun, para pendukungnya justru semakin bersimpati dengan mendatangi Prabowo di markasnya.
Sementara Jokowi bisa berbaju Presiden yang sedang dinas dan atau capres yang sedang sosialisasi, sehingga praktis tanpa kendala, tanpa sempritan, tapi sepi pengunjung.
Tapi bukankah Jokowi telah membangun infrastruktur yang kini jadi jualan utamanya? Rakyat yang cerdas tahu bahwa infrastruktur itu utamanya di kota kota besar bukan di kota kecil apalagi di pedesaan. Orang desa hanya melihatnya di tv-tv tapi tidak bisa menikmati. Sementara orang kota juga hanya yang berduit saja yang mampu membayar harga tiket jalan tol, tiket kereta api bawah tanah (MRT), kereta layang (LRT), dll.
Semuanya amat mahal dan tidak lebih dari bisnis. Lagipula wong cilik memang sulit untuk menikmati jalan tol sebab sepeda motor dan pejalan kaki tidak boleh lewat jalan tol. Jalan tol hanya untuk yang punya kendaraan roda empat dan kuat bayar tiket tol. Jujur saja yang seperti ini bukanlah infrastruktur yang sebenarnya, sekali lagi ini adalah bisnisnya orang berduit.