Kelima, secara – terstruktur , sistematis dan massif-, bekas Negara-negara jajahan yang adalah korban dari genosida (pembantaian etnis) kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran HAM, walaupun “master mind” dari berbagai konflik kekerasan di Negara-negara bekas jajahan, adalah para mantan penjajah.
Adagium ‘sejarah ditulis oleh pemenang’ ternyata tidak selalu benar. Ini terjadi dalam penulisan sejarah Nusantara (sampai 16.8.1945) dan sejarah Indonesia (mulai 17.8.1945). Bangsa Indonesia adalah bangsa pemenang yang berhasil mempertahankan kemerdekaan dalam perang melawan agresi militer yang dilancarkan oleh mantan penjajah, Belanda, bersama sekutunya di Perang Dunia II.
Namun kemudian dibuat menjadi pecundang oleh bangsa sendiri yang menjadi kakitangan mantan penjajah dan kekuatan asing.
Sejak berkuasanya Orde Baru tahun 1965, tampak kecenderungan penulisan sejarah di buku-buku sekolah didikte kembali oleh mantan penjajah, yang pelaksanaannya dilakukan oleh kakitangan dan antek-anteknya di Indonesia. Terjadi penyimpangan penulisan sejarah.
Sejak berakhirnya orde baru, timbul pemalsuan-pemalsuan peristiwa sejarah, yang sangat marak di berbagai media sosial, termasuk di youtube dan Wikipedia. Pemalsuan sejarah artinya, mengarang peristiwa yang tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Generasi yang buta sejarah kini berada di pucuk pimpinan pemerintahan dan militer. Ketidak-tahuan mengenai sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia dapat berakibat fatal untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terutama apabila Presiden, para menteri dan para penyelenggara negara serta para perwira tinggi (Pati) TNI tidak mengetahui sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia yang sebenarnya, akan berdampak pada pengambilan keputusan dan kebijakan yang tidak sesuai dengan tujuan mendirikan NKRI.