Dr Abdul Chair: Hukum Positivistik Alat Membidik dengan Delik

Penegakan hukum dewasa ini menimbulkan ketimpangan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penerapan hukum berparadigma poitivistik dapat dilihat pada penalaran deduktif. Semua fakta ditampung dalam norma, padahal fakta itu belumlah tentu sebagai perbuatan melawan hukum.  Interpretasi dalam silogisme bagaikan dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) secara diam-diam sebenarnya sudah tersedia dalam premis mayornya. Di sini terlihat pemenuhan fakta sebagi premis minor memang sudah diarahkan agar memenuhi premis mayor. Demikian itu menghasilkan konklusi yang sebenarnya sudah dipersiapkan.

Mengutip Barda Nawawi Arief, ia mengatakan bahwa dalam kontek Pancasila perlu dikembangkan keadilan bercirikan Indonesia, yaitu “keadilan Pancasila”, yang mengandung makna “keadilan berketuhanan”, “keadilan berkemanusiaan (humanistik)”, “keadilan yang demokratik, nasionalistik”, dan “berkeadilan sosial”. Ini berarti, keadilan yang ditegakkan juga bukan sekedar keadilan formal, tetapi keadilan substansial.

Dalam penegakan keadilan substantif dibutuhkan “kecerdasan spiritual” para aparat penegak hukum dalam menegakan keadilan, tidak serta merta menerapkan pasal tanpa menemukan makna yuridis dari peraturan yang bersangkutan. Dalam penerapan hukum yang responsif sebagaimana diajukan Nonet dan Selznick, bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum selain harus kompeten dan adil, harus pula mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.

Menurut paradigma hukum responsif, adanya tekanan-tekanan sosial di masyarakat seyogyanya dimaknai sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri, bukan sebaliknya dijadikan sebagai lawan yang harus dibidik dengan delik. Demikian. (Faktakini)

Jakarta, 20 Maret 2022