Gelombang penolakan ternyata sangat masif dan dahsyat baik dalam bentuk deklarasi atau aksi. Hampir terjadi di seluruh Indonesia. Intinya mendesak RUU HIP agar dicabut atau dibatalkan.
Rakyat menilai RUU ini berbau komunisme dan membuka peluang bagi bangkitnya PKI. Misi terselubung dari konseptor atau pengusul terkuak oleh publik. Tuntutan pengusutan mengemuka.
DPR anehnya belum mengambil sikap jelas. Bahkan ada yang mencoba otak-atik mengubah judul dari HIP menjadi PIP. Meski ada perbedaan isi dan arah, tapi bahasan RUU ini sudah kehilangan ruh.
Berganti judul apapun apakah PIP, BIP, SIP, RIP atau lainnya sudah tak berguna. Suara rakyat tegas yaitu tolak, hentikan atau batalkan. Lagi pula dengan mengganti nama dan isi RUU seharusnya masuk dalam proglegnas baru.
Jika terus mengambang apalagi hendak mengalihkan pembahasan RUU hanya sebagai bekal BPIP semata, maka DPR yang telah mengabaikan suara rakyat tersebut akan menghadapi teriakan lebih keras. Terutama kepada partai partai yang dianggap “tuli” dan “buta” yang mengabaikan aspirasi rakyatnya.
Menipu rakyat dengan geseran bahasan, justru akan menggeserkan tekanan pula. Jika BPIP menjadi sentral, maka suara rakyat akan terarah kepada BPIP dan instansi di belakangnya. Seruan rakyat kelak adalah “bubarkan BPIP” dan “turunkan penanggung jawab yang berada di belalang BPIP”. Bukan mustahil presiden akan menjadi sasaran.
Sekadar meningkatkan status dasar pengaturan BPIP dari “Perpres” menjadi “Undang-Undang” juga terlalu buang energi dan berlebihan. Sangat jelas DPR dengan RUU inisiatifnya ini menjadi lembaga penyalur kepentingan pemerintah. Padahal BPIP bentukan presiden ini dinilai rakyat sudah tidak bermanfaat.
Ketika DPR diam atau “buta” dan “tuli” atas aspirasi rakyat yang mendesak agar RUU HIP dibatalkan atau dihentikan, maka DPR telah menempatkan dirinya bukan sebagai “Wakil Rakyat”. Yang didengar dan diperjuangkan adalah kepentingan, jika bukan pemerintah, maka itu adalah dirinya sendiri, Partai Politik.
RUU HIP menjadi bukti dan alat uji atas pertanyaan mendasar apakah saat ini DPR itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Partai ataukah memang telah berubah menjadi Dewan Perwakikan Rezim? (end)
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan)