Ade sendiri sering dilaporkan polisi karena menjadi orang utama dalam memproduksi “hate speech” beberapa tahun belakangan ini.
Namun, dalam penjelasannya ke masyarakat, Fahira Idris berharap Kapolri baru Jenderal Idham Azis yang menurut Fahira lebih relegius, dapat memproses secara hukum untuk “hate speech” AA terkait Anies ini. Pasalnya, selama ini terkesan polisi melindungi Ade.
Menurut Dr. Ahmad Yani, mantan tokoh komisi 3 DPR RI, dalam diskusi di Menteng Club sore tadi, yang siap ditunjuk untuk menjadi pengacara Anies Baswedan, Ade dapat dijerat pasal berlapis, seperti menyebarkan rasa kebencian dna permusuhan, menyebarkan kebohongan, fitnah dan pencemaran nama baik, makar terhadap pemerintahan Provinsi DKI, dll.
Dalam masyarakat akademis, khususnya dosen, verifikasi dan falsifikasi adalah instrumen objektif untuk menjelaskan suatu peristiwa atau observasi. Tuduhan yang disematkan pada Gubernur Anies, oleh Ade, terkait kacau balau anggaran di DKI.
Ade, yang merefer kebenciannya pada Anies dihubungkan dengan berbagai item satuan anggaran dalam budget APBD DKI.
Isu yang berkembang awalnya untuk seolah-olah Anies tidak becus pada perencanaan anggaran tersebut. Padahal isu ini berkembang dari DPRD-DKI, yang merupakan penanggung jawab bersama Pemda perihal APBD.
Anies memperlihatkan pada publik bagaimana kerusakan penyusunan anggaran ini adalah warisan Ahok atau sudah berlangsung di masa Ahok juga. Dan Anies saat ini justru ingin penyusunan anggaran transparan.
Seorang akademisi seharusnya melihat fenomena carut marut penganggaran pada level DKI Jakarta sebagai bahan observasi yang penting. Kemudian selanjutnya meningkatkan keingintahuan intelektual, apakah carut marut anggaran ini bersifat nasional? Dan semua lembaga?
Namun, Ade tidak tertarik dengan observasi. Tanpa verifikasi dan falsifikasi, Ade spontan menghakimi bahwa Anies adalah penjahat.
Padahal, sudah dua tahun ini memimpin, Anies mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI. Tak hanya itu, Anies juga mendapat tiga penghargaan, yakni pengendalian gratifikasi terbaik, penghargaan aplikasi pelayanan publik dan lampiran Harta Kekayaan Penyelenggara Negara dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jadi, seorang “simple minded, closed minded”, bukanlah sikap akademisi sejati. Apalagi jika membandingkan perolehan WTP dari BPK baru terjadi lagi di eda Anies.
Benarkah Ade Armando Gila?
Dari sisi dunia akademis seorang dosen umumnya dikaitkan dengan keinginan tahuan atas sebuah kebenaran. Jika ada seorang dosen yang kerjanya menyebarkan kebohongan dan fitnah, tentunya dosen tersebut diperkirakan sakit jiwa.
Jika dikaitkan dengan Ade, tentu kita lebih meyakini bahwa dia cenderung sudah gila, karena imajinasi yang diperoleh untuk kegilaannya itu berasal dari film horror, Joker, yang paling banyak dikecam dunia pendidikan.
Lalu, bagaimana Anies Baswedan menyikapi Ade Armando? Tentu sebagai Gubernur DKI yang waras, akan menjadi gila pula jika mengurusi orang gila. Karena Ade dosen di Depok, di luar juridiksi kekuasaan Anies, susah juga bagi Anies menawarkan Ade untuk berobat di Rumah Sakit Jiwa Grogol. Oleh karenanya, lebih baik buat Anies tidak menanggapi hal ini.(end/glra)
*) Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle