Dokter Sunardi Tewas Ditembak Densus, Suteki: Inikah Potret Penanganan Terorisme dengan ExtraJudicial Killings (EJKs) di Tengah Industri Hukum?

Berdasar pemberitaan yang dimuat dalam Kompas.com tanggal 9 Desember 2019 diperoleh data bahwa Menko Polhukam Mahfud MD pernah menyebutkan bahwa industri hukum sebagimana diuraikan di muka masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Mahfud MD menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya.

Industri hukum yang dimaksud Mahfud yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan, equality before the law dan presumption of innocence. Sindiran ini dilontarkan Mahfud kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.

Kalau ada INDUSTRI HUKUM, maka berarti ada:

1. Police Corporation

2. Prosecutor Corporation

3. Court Corporation

4. Prison Corporation dan

5. Advocate Corporation

Yang terakhir akan terjadi: INDONESIA CORPORATION. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara PRODUSEN dan KONSUMEN. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas PROFIT bukan BENEFIT. Itukah maunya Negara Hukum  Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi NEGARA INDUSTRI HUKUM?

Terakhir, saya berharap kasus Qidam Al-Farizki,  Muhammad Jihad Ikhsan dan dr. Sunardi dapat diusut tuntas dan berjalan secara transparan dan proses penembakan terduga teroris bukan atas pesanan “jahat” pihak atau oknum tertentu sehingga tidak terkesan bahwa kasus ini seolah telah dipaksakan menjadi kasus terorisme. Mestinya sejak awal harus ada keyakinan polisi bahwa proses hukum bisa dilakukan bila terdapat bukti yang kuat dengan prinsip praduga tak bersalah, prinsip due process of law serta equality before the law.  Kita tidak ingin kasus extrajudicial killings yang diduga terjadi pada kasus Siyono, Qidam Al-Farizki, Muhammad Jihad Ikhsan dan dr. Sunardi ini justru memicu keresahan di tengah masyarakat.

Polisi sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh  menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan profite oriented (untung rugi) atau lebih berorientasi pada industri hukum, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan “kejahatan-kejahatan politiknya”, maka di saat itulah negara ini telah menjadi POLICE STATE. Kita tentu tidak menghendaki keadaan ini terjadi, bukan?