Dokter Sunardi Tewas Ditembak Densus, Suteki: Inikah Potret Penanganan Terorisme dengan ExtraJudicial Killings (EJKs) di Tengah Industri Hukum?

Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang INDUSTRI HUKUM yang sempat viral seperti yang kalau tidak salah disebutkan oleh Menkopolhukam belum lama ini. Saya kemudian berkhayal mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice?

Sebagai seorang guru besar di bidang hukum saya juga prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Tampaknya yang muncul adalah TRIAL WITHOUT TRUTH sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan TRIAL WITHOUT JUSTICE. Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: BERANI MENUDUH HARUS BERANI MEMBUKTIKAN. Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di pengadilan melalui DUE PROCESS OF LAW.

Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana VANDALISME: hantam dulu, urusan belakangan. Tindak tegas dulu dan berikan sanksi dulu, urusan belakangan. Itu namanya eigenrichting. Hal itu akan menjadikan pemerintah sebagai EXTRACTIVE INSTITUTION sebagai lambang NEGARA KEKUASAAN bukan NEGARA HUKUM. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis ( the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya cenderung bersifat represif.

Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang “bopeng” itu dapat terjadi dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma.

2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.

3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.

4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.

5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan “good behavior” menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Dan hal itu disinyalir akan merembet ke jenjang peradilan selanjutnya.

Apa yang dikhawatirkan oleh Menkopolhukam tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri sekalipun itu di bagian tubuh pemerintah negara sendiri.