Berbagai tanggapan mengenai keputusan itu karena paradok dengan data Go-Pilrek itu sendiri. Menurut Anang, data yang disampaikan, sbb:
A. Jumat pagi (1/11/2019), Senat Akademik ITB telah memilih 6 (enam) calon rektor dengan pemungutan suara. Hasil terpampang adalah: KS: 45, JS: 25, DL: 18, ETB: 16, BS: 16, RDW: 16.
B. Jumat siang (1/11/2019), Senat Akademik ITB telah memilih 3 (tiga) calon dengan pemungutan suara kedua, dengan hasil: KS: 28, JS: 10, RDW: 10.
C. Sabtu (2/11/2019), MWA menyelenggarakan sosialisasi ketiga calon rektor tadi, debat terbuka, sekaligus menjaring suara via popular vote, dengan hasil: KS: 358, JS: 150, dan RDW: 81.
Hasil tiga proses, nilai masing-masing kandidat, KS nomor 1, pemenang, dengan skor 358. Sedang RDW nomor 3 (Runner up II) dengan skor 81, tapi ia bisa jadi juara. Korup, ajaib, Tipsani.
Fenomena menarik, yang kalah jadi pemenang. “Hasil analisis Data Science ternyata tak pas. Tapi kondisi ini bisa diterangkan dengan Youtube”, tulis Anang, beranalogi.
Guru menanyakan kepada muridnya : “Berapa 2 apel + 2 apel?”
Murid menjawab “5 apel”. Guru heran. Guru mengulang pertanyaannya.
Jawaban murid masih sama: “5 apel”.
Guru bertanya lagi kepada murid itu. “Berapa 2 jeruk + 2 jeruk?”. Murid menjawab lantang “4 jeruk”.
Wauw. Ada yang tidak betul. Mengapa soal apel =5, sedang jeruk =4. Penasaran, ia ulangi lagi pertanyaan: “2 apel + 2 apel berapa?” Jawaban murid tetap “5=apel”.
Guru bingung. Kalau jeruk =4. Maka guru bertanya: “Mengapa kalau jeruk =4. Tapi apel =5?”.
Murid itu dengan tenang menyahut sambil mengeluarkan 1 apel dari kantong Nadiem, dan berkata bahwa di kantong Nadiem ada 1 apel, maka hasilnya 5 apel. “Betulkan?”
Mendikbud Nadiem menyembunyikan 1 apel di kantongnya, berharga 35% suara, sehingga hasil matematika pemilihan Rektor ITB, bukan KS. “Ini namanya matematika politik”, kata Anang.
Betul Anang. Itu korup, politik korup, cara maling sapi, kata orang Madura, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar! Jika pun ditambah 35%, tetap Reini kalah. Apalagi jika diejawantahkan frasa kata “bebas” dan “merdeka” dari mulut si Nadiem, penipu orang itu. Bahasa Maduranya “ge-o-ge colokna”.
Rapat MWA nya, malah di kantor Nadiem. Rusak berat ITB kena Nadiem. Ia Demokrasi Terpimpin dari MacKenzie. “Demokrasi Terpimpin”, kata Reza Fadilah. Sebulan jadi Mendikbud, tak satupun yang baik dari Nadiem.
Ia jadi iblis, penghancur apa saja yang baik. Kurikulum Dikdasmen diacak-acak, salah berat pula. Dikti dimanipulasi. Monster ini harus dihentikan. Mundurlah, Nadiem! Kau tak tahu apa-apa, maksa. Ilmunya tak punya, pengalamannya juga tak punya. Itu bukan rumahmu. Bukan domainmu. Kok maksa. Gak malu ya?
Sepekan ini, semua penulis menghujat kau. Common enemies. Tak ada satu pun yang puji kau. Tahu sebabnya? Casting ente dan Jokowi: The Blind & The Doubt, kerjasama si Buta dan si Bisu. Kau tak mengerti apa-apa Bro. Jokowi apalagi. Ibarat DO (Driver Ojol) yang tak bisa menjalankan mesin motor. Tapi sok bisa berojol.