Sesat berat ente Bro Yuswohadi. Bukan itu yang dimaksud pengajaran Bro. Itu BLK untuk cetak tukang, etc. Pengajaran tidak didasarkan karena ada hantu disrupsi yang menakuti balita. Juga bukan didasarkan karena anakmu suka gaul generasi Z, etc, yang kesengsem HP.
Pengajaran didasarkan data empiris, data pengalaman bangsa ini. Data Empirik itu diproyeksi jadi kurikulum Dikdasmen. Tak boleh kurikulum mencerabut peserta didik dari akar antropologisnya (90 persen peserta didik adalah anak muslim).
Jangan kau cari sillabus GO-JEK di situ. Saya pastikan tak ada! Nyusun kurikulum itu, seperti menyusun Tabel Robert Merton. Menggunakan Time Series, tabel perilaku manusia itu baru selesai 26 tahun bikinnya. Mau dipercepat? Tak boleh dan tak bisa. Kurikulum adalah formula, harus dicoba ke SD-SMP-SMA =12 tahun, sebagai kelinci percobaannya. Sekali gagal, berarti hangus 12 tahun.
Tahun 1975, dibuat eksperimen SMPP untuk mencetak pemikir sekaligus tukang. Gagal. SMPP bubar, kembali jadi SMA. Belakangan sekolah kejuruan ditukangi, STM diubah namanya menjadi SMK, termasuk SMEP. Gagal lagi, malah jadi mobil Esemka, impor dari Cina. LOL, QI QI QI.
llustrasi: kita muter dulu Bro: 1974 saya di Madura, kabur dari Jakarta karena diuber TEKAB-nya Malari yang dipimpin Hariman Siregar, sang legendaris. Issu ramai di Malang, adalah mencari formula rokok kretek Gudang Garam. Seorang pembuat formula kretek Gudang Garam terbunuh ketika ia hendak jual formula itu ke Jarum. Formula itu berharga Rp 7 miliar. Pertarungan Gudang Garam versus Jarum pun kian menghebat.
Jadi saya ikut mencampur uji coba kretek, siapa tahu saya beruntung: grosok dulu, sekian persen, tembakau hitam, sekian persen, tembakau kuning, sekian persen, tetes, sekian persen, cengkeh sekian persen, dst. Lalu gulung, jadilah rokok kretek.
Rasa berubah ketika urutan diubah. Rasa juga berubah ketika dosis berubah. Rasa juga berubah, jika raw material berubah. Banyak benar variabelnya. Lebih rumit daripada penelitian Adam Smith terhadap tukang jagal, di mana Smith menemukan 13 prototipe pisau jagal ketika ia merumuskan formula efisiensi ekonomi yang, kemudian disebutnya Neo Classic.