Oleh : Abu Nisa (Aktivis Gerakan Kontemporer di Indonesia)
Statement yang sering terlontar di beberapa forum oleh BNPT sepintas terkesan sebagai bentuk ekspresi apresiasi positip. Atau pemikiran sejalan dengan ajaran islam. Tetapi jika jeli, maka statement-statement itu menyiratkan makna bersayap. Yang penuh dengan nuansa adu domba dan stigmatisasi. Berikut sebagian statement tersebut. Islam beradab vs islam biadab. Khilafah dengan kekerasan vs khilafah dengan tanpa kekerasan. Vis a vis kedua istilah tersebut hampir sama dengan dikotomi istilah yang lain sebelumnya. Seperti islam moderat vs islam radikal. Islam rahmatan lil alamin vs islam fundamental. Kerangka dasar pemikiran memunculkan dikotomi istilah tersebut nampaknya sebagai upaya mendistorsi ajaran islam secara smooth dan sistematis. Fokus ajaran islam yang didistorsi apalagi kalau bukan kedua istilah syar’i yang sangat penting “khilafah dan jihad”. Dan semua upaya distorsi tersebut nampaknya mendapatkan momentumnya saat muncul blow up opini secara masif deklarasi DAIS/IS versi ISIS. Momentum deklarasi ditambah dengan berbagai video/berita beragam kekerasan/kekejaman oleh IS sebagai legitimasi. Berbarengan dengan proses penguatan aspek legislasinya. Dan keganjilan penangkapan beberapa warga negara Turki jalan-jalan ke Poso yang diduga teroris terkait dengan jaringan Santoso. Semacam desain konfigurasi cerita keterkaitan Santoso dengan jaringan teroris internasional.
Mengambil rangkaian penjelasan dengan menginsert dikotomi istilah tersebut di atas sebagaimana yang disampaikan oleh Irfan Idris representasi BNPT di sebuah forum yang diselenggarakan oleh sebuah ormas islam di Surabaya, Ahad, 15 September 2014 beberapa hari yang lalu. Irfan Idris menyatakan : “BNPT tidak menolak khilafah karena itu ajaran islam. Tetapi yang kami tolak adalah khilafah dengan jalan kekerasan”. Statement itu memang diarahkan secara khusus pada kasus yang dilakukan oleh ISIS. Tetapi sesungguhnya statement itu memiliki kandungan makna bersayap secara terselubung antara lain :
Pertama, jika istilah khilafah hanya dibawa pada konteks wacana atau pemikiran an sich tidak jadi masalah. Karena hal ini menjadi bagian dari keterbukaan pendapat dan pemikiran dalam bingkai demokrasi.
Kedua, jalan kekerasan dalam statement tersebut sesungguhnya dimaksud untuk menggantikan istilah lain yakni kata “jihad”. Jadi berkaitan dengan makna terselubung yang pertama. Jika khilafah hanya sebagai wacana pemikiran saja dan tidak menggunakan jihad sebagai metode yang ditempuh maka sah-sah saja.
Ketiga, mensinonimkan kata jihad sebagai sebuah kekerasan atau identik dengan terorisme. Dengan menggunakan ISIS sebagai pembenarannya. Implikasi yang sistemik dan dahsyat adalah bahwa seluruh aktifitas jihad oleh para mujahidin di berbagai medan jihad adalah bentuk kekerasan, kriminal atau terorisme.
Keempat, realitas gerakan islam diantaranya terdiri dari gerakan pemikiran, politik dan jihad. Dengan dikotomi istilah tersebut di atas, sebenarnya hendak mencoba menghadap-hadapkan antara entitas gerakan islam yang mengambil jalan pemikiran dan politik dengan yang mengambil jalan jihad. Istilah lainnya dalam bahasa Jawa “nabok nyeleh tangan”. Mengaborsi istilah jihad dengan menggunakan entitas gerakan islam yang tidak menggunakan jalan “jihad”.
Kelima, kesimpulan dari keempat makna terselubung sebelumnya adalah khilafah dan jihad sebagai sebuah ajaran islam perlu direkonstruksi pemaknaannya. Tidak lagi kaku dimaknai sebagai sebuah istilah yang syar’i tetapi cukup hanya diserap spirit substansinya saja. Disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktu. Hingga akhirnya umat islam kehilangan makna syar’i sebenarnya kedua istilah penting “khilafah dan jihad”. Tinggal mengenang namanya saja. Inilah hakekat sebenarnya program deradikalisasi aqidah umat islam. Dengan menggunakan dukungan piranti negara dan sokongan berbagai elemen masyarakat.
Sampai kapan ini terus dilakukan ? Wallahu a’lam bis showab.