Diskriminasi Hukum Nyata di Peradilan HRS

Sinisme lembaga peradilan terhadap hak-hak hukum HRS semakin terasa ketika pengacara HRS bahkan sempat mendapat kesulitan memasuki ruang sidang. Dengan surat kuasa di tangan, seharusnya tidak menemui kendala memasuki ruang sidang. Toh para pengacar itu telah mengikuti sidang sebelumnya.

Meski lembaga yudikatif terlihat menyudutkan posisi hukum HRS, namun para penghuni lembaga eksekutif dan legislatif hening komentar. Trias politika ini mungkin sepaham, perlakuan itu adalah sesuatu yang “pas” untuk HRS.

Tidak satu pun dari pihak eksekutif yang membela hak-hak hukum HRS. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tadinya dinilai punya kedekatan dengan HRS, membeku dalam diamnya. Padahal, saking dekatnya, Prabowo pernah berjanji hendak menjemput langsung HRS dan memulangkannya ke Tanah Air dengan jet pribadi. Luar biasa janji itu.

Sementara itu, respon dari lembaga legislatif hanya dibunyikan satu dua orang. Sebagai oposisi, sejumlah kader Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera telah memberi pernyataan membela dengan porsi yang semestinya. Dari partai pendukung pemerintah, yang terlihat gregetnya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadly Zon. Fadly bahkan menjaminkan dirinya demi pembebasan HRS.

Kita bersuara bukan semata tentang HRS. Ini tentang perlakuan lembaga peradilan terhadap seorang warga negara yang kebetulan bernama Habib Rizieq Shihab. Yang menjadi fokus kita adalah proses pemenuhan hak-hak hukumnya. Seorang warga negara dengan warga negara lainnya seharusnya sama dan sederajat di hadapan hukum. Tetapi entah kenapa di hadapan HRS, hukum terasa begitu antagonis.

Beberapa pihak menengarai, kasus HRS menjadi diskriminatif karena intervensi politik. Salah satunya Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Abdullah Hehamahua. Saat menanggapi kematian enam laskar FPI tempo hari, dia mengaitkan penembakan 6 laskar FPI bermula dari Pilkada DKI.

Secara teoritik, Ahok harus menang. Tetapi nyatanya kalah. Salah satu sebabnya, menurut Hehamahua karena HRS dan 212 ikut bergerilya. Dari sanalah dia melihat persoalan bermula, yang kemudian menyebabkan HRS harus ke Saudi Arabia, hingga kembali ke Tanah Air dan menjalani proses demi proses sampai akhirnya terjadi pembunuhan di luar hukum terhadap 6 laskar FPI.

Apakah relasi politik itu juga punya kaitan dengan diskrimanasi  hukum HRS saat ini? Wallahu a’lam.[FNN]

Penulis: Tamsil Linrung, Senator DPD RI.