Kesimpulannya, setelah berbulan-bulan perilaku pemerintah seperti uraian di atas, wajar saja jika kemudian masyarakat menafsirkan kerumunan yang lain seperti di pasar, di cafe, di Pilkada, di obyek wisata, acara keagamaan, termasuk acara-acara yang dihadiri oleh HRS, diperbolehkan saja asal mengikuti aturan prokes.
Dalam situasi sudah kusut seperti ini, apakah diskresi Menkopolhukam ini dapat diperlakukan oleh penegak hukum (polisi) sama halnya seperti polisi mentersangkakan HRS dan lima orang pengurus FPI terkait kerumunan Petamburan? Juga ketika Polisi mengenakan tuduhan penghasutan aksi menentang OmnibusLaw pada Aktivis Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana?
Apakah diskresi Menkopolhukam ini juga bisa dianggap ikut mendorong dan membiarkan terjadinya kerumunan orang di Bandara? Tentunya jika para deklarator KAMI tersebut bisa dikenakan pasal penghasutan, diskresi Menkopolhukam juga bisa dianggap ikut mendorong, atau setidaknya membiarkan terjadinya kerumunan orang.
Semestinya Mahfud MD punya kewenangan untuk melarangnya. Tetapi sekali lagi, penafsiran hukum sangat dipengaruhi oleh posisi dan subyektifitas pihak yang menafsirkannya.(FNN)
Penulis: Gde Siriana, Direktur Eksekutif INFUSS