6. Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain. Konsep ini sudah lama ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles). Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa”, Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi”, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesqiu, John Lock, atau Hegel. Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sbg padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).
7. Dalam Pesan Bogor yg dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yg pertama: i”tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah). Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.
8. Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial. Arus migrasi antarnegara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran. Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal seperti yg terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.
9. Dalam konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia dari awal kelahirannya sdh memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yg oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama. Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul “Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktekkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerjasama antaranak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan eksklusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.
10. Implementasi muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi “political liberty and equality” (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dengan realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural. Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi, ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya. Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama”i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya. Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis.