3. Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu “menutup”, maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihanNya. Dalam hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat). Al-Qur”an juga mengenalkan konsep2 etis lain yg berhubungan dgn konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam.
4. Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada manusia yang tidak beriman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Sebenarnya istilah tentang “orang luar” ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench marking of belief). Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others). Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep tentang “orang luar” dan “orang lain” ini dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan “orang dalam” lingkaran keyakinan tersebut. Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yg bersifat menghina atau menista.
5. Dalam Sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur”an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dengan pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Mereka disebut dgn nama komunitas keagamaannya masing2, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab” (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam tidak menjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep). Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap “pihak lain atau pihak luar”, seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik. Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerjasama antaragama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah “pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dstnya, bahkan istilah Bahasa Inggris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama2 lain). Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.