Eramuslim.com – Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung karena khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan. Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yg sensitif sekarang ini. Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan sebagai berikut:
1. Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik. Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan publik awal dari Munas Ulama NU ada mengaitkan keduanya (“dlm kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir tapi muwathin”), dan polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).
2. Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur”an adalah “dalalah Ilahiyah” (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Al-Qur”an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).