Dimana Sumber Kegaduhan NKRI?

Di Amerika Serikat (AS) pun, perubahan konstitusi diletak pada adendum, tidak mengubah ‘akte awal’ berdirinya Negeri Paman Sam.

Sekali lagi, perubahan itu keniscayaan karena dunia terus berubah sesuai mekanisme tesis – antitesis – sintesis. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Artinya, akan terjadi perubahan secara terus menerus mengikuti “hukum evolusi”-nya Charles Darwin. Bahwa satu-satunya realitas adalah perubahan, kata Herakletos. Itu kredo kehidupan.

Dan langkah-langkah perubahan —entah amandemen, atau penyempurnaan, perbaikan— adalah keniscayaan dan sifatnya mutlak bila sebuah negara ingin tetap eksis serta langgeng menyesuaikan gerak perubahan. Ini pakem geopolitik. Menurut Frederich Ratzel: “.. hanya bangsa unggul yang bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi“.

Seyogianya penyempurnaan, perubahan atau amandemen dituangkan dalam adendum (aturan tambahan), bukan dengan cara mengubah naskah asli. Tatkala naskah asli UUD 1945 diganti teks-nya maka ibarat merobohkan bangunan NKRI yang didirikan oleh para bapak pendiri bangsa.

Nah, peristiwa pengubahan teks atau naskah asli UUD sebanyak empat kali tersebut oleh Pak Try Sutrisno disebut dengan ungkapan “pengkhianatan terhadap UUD 1945”; atau SBY menyebut dengan istilah silent revolution (revolusi senyap); atau ada yang menamai invasi senyap; kudeta konstitusi dan lain-lain.

Lantas, dimana sumber kegaduhan yang dituduhkan ke UUD hasil empat kali amandemen?

Banyak sisi untuk mengurai sumber kegaduhan dimaksud. Tetapi, pada catatan ini, saya ingin menyorot satu hal yang sifatnya fundamental, yakni berubahnya pola pemilihan presiden (pilpres), atau pileg, ataupun pilkada dan seterusnya dari sebelumnya melalui mekanisme musyawarah mufakat (hak bicara) berubah menjadi hak suara (satu orang satu suara) alias one man one vote. Inilah ‘salah satu’ sumber kegaduhan di NKRI.

Ada beberapa narasi negatif akibat pola pemilihan menjadi one man one vote, antara lain:

1. Tercabutnya kearifan leluhur berupa hak bicara melalui musyawarah mufakat menjadi hak suara (satu orang satu suara);

2. Menjadi alat pembelah bangsa yang efektif;

3. Menciptakan politik berbiaya tinggi (high cost politics);

4. Membidani dinasti politik dan politik dinasti baik di tingkat nasional maupun di daerah;

5. Semakin suburnya KKN di berbagai lini dan strata birokrasi, sehingga berkembang asumsi bahwa korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem;

6. Melahirkan industri pencitraan dan membidani berbagai komunitas buzzer dengan beragam motivasi;

7. Menciptakan ketidakadilan (strata) sosial, oleh karena suara profesor, misalnya, atau suara tokoh masyarakat dll disamakan dengan (suara) pemilih pemula dan lain-lain.

Ada satu hal lagi yang paling prinsip tetapi jarang dipahami oleh publik, yaitu bahwa sejak 10 Agustus 2002 MPR periode 1999-2004 yang diketuai Amien Rais telah memberlakukan UUD 1945 hasil amandemen, tetapi anehnya tidak ada satu pun produk hukum mengesahkan, sedangkan UUD 1945 asli yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak pernah dicabut oleh satu produk hukum pun.

Maka boleh disimpulkan, bahwa sesungguhnya ada 2 (dua) konstitusi yang beroperasi, yaitu:

(1) secara de jure ialah UUD 1945 asli; tetapi

(2) secara de facto adalah UUD 1945 hasil empat kali amandemen.

Mengakhiri telaah kecil ini, ingin disampaikan bahwa tidak ada niatan dan maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing pengetahuan terkait permasalahan hulu bangsa. Dan sepertinya, masalah hulu tersebut justru dikaburkan alias dialihkan dengan persoalan-persoalan hilir yang sengaja digaduhkan melalui tik-tok game politics.[TheGlobalReview]

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)