Suasana pasar tradisional ini berjalan sangat normal. Hiruk-pikuk kekhawatiran soal virus corona 2019 atau Covid-19 seperti tidak menghampiri pasar ini.
Mereka bukan berarti tidak tahu virus corona yang sudah membunuh 7,007 orang di seluruh dunia hingga Selasa (17/3) pagi. Seorang pedagang minyak dalam kemasan sembari tertawa menyebut virus ini ketika menjajakan barang dagangannya. “Beli minyak bukan cuma buat masak, tapi bisa cegah corona,” kata si ibu sembari menurunkan masker kain di wajahnya.
Seorang pedagang jamu mengatakan pesanan jamu jahe, kunyit, temulawak adalah yang paling diburu. Pedagang jamu berusia pertengahan 40an ini pun selalu menawari pembeli apakah kunyitnya mau ditambah dengan rimpang lainnya seperti temulawak. “Buat cegah corona,” kata dia.
Suasana pasar yang seperti ini tentu berbeda dari keriuhan di media sosial soal virus corona. Bukan berarti mereka terlalu santai, tapi bisa jadi informasi tentang bahaya virus corona tidak sampai ke tangan mereka, meski mereka adalah penduduk yang sudah berusia lebih dari 60 tahun dan masuk kategori rentan.
Bahkan mungkin, masyarakat ini termasuk kelompok yang menganggap memeriksaan kesehatan bukan hal yang paling penting. Atau, badan lemas dan lesu hanya dianggap sebagai pegal linu yang sembuh dengan jamu.
“Kalau belum sakit banget, enggak usahlah ke dokter.” Atau, “yaudahlah, semua orang bakal mati kok.”
Kelompok masyarakat yang datang ke pasar tradisional ini seharusnya tetap menjadi kelompok yang aman dan tidak tersentuh virus corona. Namun, penyebaran virus corona ini di seluruh dunia menunjukkan kita tidak bisa berpangku tangan menghadapinya.
Menilik penularan di Indonesia, virus corona adalah virus yang terpapar ke kelas menengah ke atas. Saya tidak sedang bermaksud untuk menyudutkan suatu kelas tertentu dalam masyarakat.