Novasi kredit yang dimaksud PTPN III, yaitu mengalihkan sebagian utang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual putus, yaitu penjualan aset milik PTPN Holding untuk menyelesaikan kewajiban kepada pihak lain.
Maklum, jika salah-salah ambil langkah, pemulihan utang dengan dua mekanisme di atas bisa diperkarakan. Maka itu, Seger Budiarjo dalam suratnya tersebut meminta penjelasan kepada Kejagung, mengenai aksi korporasi penjualan aset BUMN tadi.
“Bagaimana prosedur aksi korporasi di atas sesuai ketentuan perundangan yang berlaku?” begitu tertulis di surat PTPN III ke Kejagung.
Direktur Keuangan PTPN III Mohammad Yudayat optimis bahwa PTPN III Holding mampu membayar semua utang-utang korporasi. “Sejauh ini kita masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya kepada Gatra.com.
Ia mengatakan, penjualan aset BUMN bukan satu-satunya opsi yang akan dijalankan PTPN Holding, untuk membayar utang. “Kita punya banyak opsi untuk melunasi kewajiban,” kata Mohammad Yudayat.
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya telah mengaudit keuangan PTPN Holding. Hasilnya, PTPN Holding memiliki utang sebesar Rp 39 triliun per 31 Maret 2019. “Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi beban Holding, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya kepada Gatra.com, (20/11/2019).
Achsanul Qosasi mengatakan, untuk menyelesaikan kewajiban korporasi, PTPN harus segera melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. “Agar cash flow tidak terganggu,” katanya.
Mungkinkah Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat khawatir jika namanya dikaitkan dalam “pusaran korupsi” di PTPN III? [FNN]
Penulis: Mochammad Toha, wartawan senior FNN.co.id