8. Jenderal Polisi Firman Gani 3 ha Desa Sukakarya; 9. Jenderal Polisi Condro Kirono lebih kurang 5 ha Desa Sukakarya; 10. Kolonel Isar Sampiray MB 6.000 m2 Desa Sukagalih; 11. Masdya Pur Kusnadi 1 ha Desa Sukagalih;
12. Ibu Lili 10 ha Desa Kuta; 13. Perusahan sayuran Korea 7 ha di Desa Kuta; 14. Perusahan bunga Alessia 5 ha Desa Sukaresmi;15. Markaz Syariah lebih kurang 30 ha di Desa Kuta; 16. Bapak Rosenvile 1 ha Kambing Sukaresmi;
17. Bapak Manurung 3 ha Sukakarya; 18. Anton Anggoman 3 ha Sukakarya; 19. Ibu Ina di Desa Kuta 3 ha; 20. Villa Bambu 2 ha Desa Kuta; 21. SMK di Desa Kopi; 22. Dokter gigi 5000 m2 pasir panjang Desa Sukakarya;
23. I Komang Agus Trijaya peternakan ayam 26.000 m2 di Desa Sukagalih; 24. PT Saung Mirwan /Pak Loki 4 ha pertanian di Desa Sukagalih; 25. Ibu Ningsih 1 ha Desa Sukagalih; 26. Bapak Sanjaya 9 ha di Desa Sukagalih;
27. Bapak Heru peternakan sapi 2,6 ha Desa Sukagalih; 28. Ibu Suryani 5 ha Desa Sukagalih; 29. Ibu Wong 3 ha Desa Sukagalih; 30. Bapak Waluyo 3 ha Desa Sukagalih. Dan banyak lagi yang tidak ditulis satu per satu.
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat hanya menyoal lahan sekitar 30 ha yang dipakai Ponpes Markaz Syariah pimpinan Habib Rizieq Shihab (HRS) saja, bukan termasuk yang lainnya?
Padahal, semua lahan itu kedudukannya sama dengan Ponpes Markaz Syariah. Tidak lebih tidak kurang.
Yayasan Kristen Romo di Arca Domas, Desa Sukaresmi telah berdiri 10 tahun sebelum Markaz Syariah datang, tapi tidak ada teguran dan gangguan somasi dari Dirut PTPN VIII. Jika memang penegakan hukum, seharusnya semuanya diminta kembali.
Tapi nyatanya, “Somasi Pertama dan Terakhir” ini hanya khusus dan bersifat politis kepada Ponpes Markaz Syariah saja. Inilah yang patut dipertanyakan kepada Dirut Yudayat. Padahal HRS itu membeli lahan tersebut dari warga Megamendung.
Lahan Markaz Syariah itu dibeli dengan sah, bukan menyerobot dari orang yang masih hidup dan siap bersaksi. HRS membeli dari beberapa orang pemilik sebelumnya.
Antara lain yaitu: 1. Jenderal Polisi Dadang Garnida (eks Kapolda Jawa Barat); 2. Jenderal Beni Angkatan Darat; 3. Serka Karman Suherman; 4. I Komang Agus Trijaya; 5. Herwantoni Salim (Jakarta); dan lain-lain.
Kemudian, lahan tersebut ditanda-tangani Ketua RT, RW, Kepala Desa, dan disertai dengan Rekomendasi dari Camat, Bupati, dan Gubernur. Malahan waktu itu Mentri BUMN Dahlan Iskan mengarahkan untuk memohon pelepasan seluas 100 ha.
Jadi sangatlah ironis, pesantren yang bernapaskan Islam didukung oleh RT sampai Menteri, hari-hari ini tiba-tiba akan “digusur” dan mau menghilangkan keberadaan Markaz Syariah.
Padahal, seharusnya Markaz Syariah, yayasan anak bangsa yang akan mencerdaskan umat, seharusnya Pemerintah mendukung kegiatan pendidikan ini dan itu merupakan sebagian dari tanggung jawab Pemerintah.
Markaz Syariah itu merupakan anak bangsa yang akan mencerdaskan anak negeri, semestinya Pemerintah memberikan tanah yang dimaksud, dan memberikan dana pembangunannya. Tapi ini yang tidak dilakukan. Upaya PTPN VIII ini justru kontra produktif.
Pusaran Korupsi
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat mau “menggusur” Markaz Syariah? Apakah karena ada tekanan dari pihak berwenang lainnya, sehingga dia menuruti apa kemauan “pihak ketiga” tersebut?