Dewan Oligarki Mau Kudeta Konstitusi, Rizal Ramli: Ternyata Si Abang Biangnya…

 

OLEH: Arief Gunawan•

PEMILU 1955 esensinya adalah pemilu rakyat yang dipercepat agar Republik yang baru 10 tahun merdeka dapat menyelenggarakan pemerintahan secara demokratis.

Walaupun pelaksanaannya waktu itu berlangsung dalam keadaan ekonomi negara yang morat-marit, bibit-bibit pemberontakan di sejumlah daerah mulai muncul, mayoritas rakyat masih buta huruf, TNI dan Polri diperbolehkan mencoblos, distribusi logistiknya terkendala, dan dari segi pelaksanaan memakan waktu yang rawan risiko, karena berlangsung dalam dua tahap.

Pertama September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan kedua Desember 1955 untuk mencoblos anggota Konstituante.

Di tahun yang sama waktu itu  diselenggarakan pula Konferensi Asia-Afrika yang menampilkan dignity sebuah bangsa yang baru merdeka, dengan kemampuan menggalang persatuan di antara negara-negara  korban kolonialisme dan imperialisme.

Sementara itu di dalam negeri pertentangan politik dan ideologi di antara sesama elite politik saat itu tak kalah pula sengitnya.

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang merancang persiapan pemilu misalnya diolok-olok, karena bikin kerjasama tak seimbang antara pengusaha China dan pribumi, sehingga kabinetnya diledek Kabinet Ali-Babah.

Kabinet Burhanuddin Harahap yang melaksanakan pemilu dicemooh.  Kabinetnya diakronimkan jadi Kabinet BH alias Buste Houder.

Mengapa dalam keadaan serba sulit dan penuh pertikaian politik seperti itu pemilu tetap dilaksanakan?

Karena para elite politiknya waktu itu mematuhi konstitusi. Undang-undang Pemilunya sudah disahkan oleh Kabinet Wilopo pada tahun 1953.

Kompetisi politik di antara partai-partai saat itu diperlihatkan melalui program-program yang menarik simpati dan partisipasi rakyat.

Para ketua umumnya adalah orang-orang yang konsisten dengan ideologi dan garis perjuangan partai yang dipimpinnya.

Sehingga tidak bertolak belakang seperti sekarang. Ketua umum partai mengkudeta konstitusi. Minta pemilu diundur demi memperpanjang masa jabatan presiden, karena berbagai alasan yang memperlihatkan watak khianat dan sifat rakus berkuasa meski tanpa prestasi.

Di tengah kegagalan mengelola perekonomian nasional, amblasnya indeks demokrasi, meruncingnya ketidakadilan di bidang hukum, makin meregangnya perekatan sosial, daya hasut yang kian tinggi dalam membenturkan umat Islam, dan mengikisnya kedaulatan negara, lembaga-lembaga survei bayaran (pollsterRp) yang selama ini makan remah-remah kekuasaan membohongi rakyat dengan menyebut 73, 9 publik puas terhadap kinerja pemerintah.