Polri jelas sudah tahu realitas kondisi lapangan yang sejatinya. Bahkan, tak perlu survei-surveian segala, sudah terang benderang pendukung 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, tak terbendung. Ke mana Prabowo datang lautan manusia menyambutnya. Di sisi lain, hal yang sama tidak terjadi pada capres cawares 01, Jokowi-Ma’ruf. Polri tentu tidak mau mengambil risiko tercatat dalam sejarah buram di kemudian hari. Apalagi anggota TNI secara diam-diam juga melakukan gerakan melawan terhadap ketidaknetralan Polri tersebut.
Celakanya, tindakan menarik Polri ke tengah, justru terjadi di tengah badai yang menerpa parpol koalisi pendukung petahana. Ketua Umum PPP yang sudah dipecat, Muhammad Romahurmuziy, masuk perangkap KPK; Ketua DPP Golkar (yang juga sudah dipecat), Erwin Aksa, menyeberang ke 02; PKB dan PPP saling cakar; PDIP dan PSI saling tanduk; Golkar dan Nasdem saling serang. Menteri yang diharapkan membantu petahana malah menjadi beban bagi elektabilitasnya. Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, dan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Imam Nahrawi, berada di tubir jurang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berita tentang keduanya saja sudah menglongsorkan elektabilitas Jokowi.
“Jadi kalau saya agak eror, mohon maaf,” ujar Jokowi sebelum meresmikan Pasar Badung, Denpasar, 22 Maret lalu. “Setiap jam ganti provinsi, setiap jam ganti kabupaten, setiap jam ganti kota sehingga kadang-kadang eror. Mohon maaf,” lanjutnya.