Polisi mesti netral. Itu wajib. Sudah seharusnya. Aneh, jika kenetralan anggota Polri itu masih butuh telegram Kapolri segala. Netralitas Polri tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 disebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan poltik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
Hanya saja, telegram Kapolri Jenderal Tito Karnavian tertanggal 18 Maret 2019 mengatur lebih detail. Ada 14 poin larangan yang ditekankan dalam telegram itu. Inti dari 14 larangan itu adalah polisi tidak boleh terlibat dukung mendukung dalam bentuk apa pun kepada capres, cawapres, dan caleg.
Untuk menunjukkan sikap netral itu, maka Kapolri juga menghentikan acara Millenial Road Safety Festifal (MRSF) 2019. Tadinya, menurut rencana acara itu akan digelar di Sulsel, Jakarta, Kaltara, Banten, dan Jateng. Jenderal Tito memutuskan menghentikan sementara acara itu sampai usai pemilu.
MRSF sudah dua kali digelar Korlantas Polri. Acara ini menjadi blunder karena dikotori aktivitas berbau politik mendukung Jokowi. Teranyar adalah acara MRSF yang digelar Polda Jatim di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Event yang dihadiri sekitar 70.000 milenial dari 38 kabupaten dan kota dari seluruh Jatim itu dinodai aksi berbau kampanye. Yakni saat sekelompok peserta kampanye malah memutar lagu berjudul “Jokowi Wae”.
Lalu apa benang merah sikap Kapolri Tito ini dengan tanda-tanda kekalahan Jokowi? Sejumlah analis melihat sikap Tito menarik pasukannya ke tengah bukan sekadar karena Polri dikepung isu tidak netral. Polri memutuskan hal itu diduga karena elektabilitas Jokowi memang sudah mentok, sulit untuk didongkrak lagi. Survei Litbang Kompas hanya salah satu parameter saja.